Rabu, 20 Februari 2008

Memperjelas Property Right Pulau-Pulau kecil

MEMPERJELAS PROPERTY RIGHT PULAU-PULAU KECIL

Oleh : Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan pengelolaan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil perbatasan di Kabupaten Kepulauan Natuna, Provinsi Riau Kepulauan. Pencanangan ini merupakan manifestasi dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan (P2KP). Pencanangan ini menandai begitu pentingnya pulau-pulau kecil (PPK) dari aspek geo-politik, geo-strategi maupun ekonomi. Kelalaian bangsa Indonesia di masa lalu dalam mengelola dan memberi perhatian terhadap PPK berimbas pada kekalahan Indonesia dalam forum Mahkamah Internasional dalam kasus Sipadan-Ligitan. Problem utama yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah saat ini adalah kejelasan status hak kepemilikan (property right) terhadap PPK.
Hak Kepemilik
Secara umum pulau kecil adalah sebuah daratan yang dikelilingi oleh lautan yang luasnya tidak lebih dari 10.000 m2. Di wilayah Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 2000 buah PPl baik yang terletak dalam wilayah laut Nusantara maupun perbatasan maritime dengan Negara tetangga. Pulau-pulau tersebut ada yang berpenghuni dan tidak berpenghuni. Baik yang berpenghuni maupun tidak sebuah pulau kecil ada yang memilikinya baik secara individu, komunal berbentuk kepemilikan adat, atau tidak dimiliki siapapun. Sampai kini hak kepemilikan (property right) PPK belum ada pengaturannnya. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pun tidak mengaturnya. Kini hak kepemilikan atas PPK harus diperjelas. Hal ini penting karena jangan sampai persoalan hak kepemilikan ini akan menimbulkan konflik antar individu dengan individu, antar komunitas masyarakat, maupun masyarakat dengan Negara. Konflik pertanahan yang terjadi di daratan jangan sampai berulang dalam kasus PPK.
Apabila mencermati hak kepemilikan PPK di Indonesia saat ini, maka kita dapat mengelompokkan dalam empat bentuk yaitu, pertama, kepemilikan individu (individual/private property right). Bentuk kepemilikan ini dapat ditemukan pada PPK di Kepulauan Seribu, Taman Nasional Wakatobi dan pulau Komodo yang sudah berkembang menjadi daerah wisata.
Kedua, kepemilikan adat (communal property right). Bentuk kepemilikan seperti ini adalah PPK yang merupakan hak milik adat secara komunal yang sudah terjadi secara turun temurun.. Pulau Batanta di Kabupaten Kepulauan Raja Ampat yang juga daerah konservasi dan mengandung emas seluruhnya wilayahnya merupakan hak adat berbentuk ulayat. Sekalipun pulau tersebut didiami berbagai etnik dari berbagai komunitas masyarakat, namun hak-hak adat atas pulau tersebut tetap diakui dan dihormati eksistensinya.
Ketiga, kepemilikan Negara (state property right). Secara obyektif, semua pulau yang ada dalam wilayah NKRI berada dalam hak dan kewenangan Negara. Namun persoalannya adalah Negara belum memberikan instrumen hukum berupa peraturan perundangan yang mengatur hak kepemilikan PPK. Gugusan pulau-pulau Banyak di Kabupaten Nias, PPK di Kabupaten Natuna dan PPK perbatasan menjadi bukti otentik.
Keempat, tanpa hak kepemilikan (non-property right/open acces). Bentuk property right semacam ini terdapat pada PPK yang termasuk batas terluar dari NKRI atau perbatasan maritime dengan Negara tetangga yang tidak berpenghuni. Secara de facto pulau seperti ini sebenarnya menjadi milik Negara (state property right). Namun, secara de jure tidak ada landasan hukum yang memayunginya, sehingga siapapun dapat saja mengelola atau memanfaatkannya (open acces). Masyarakat dapat mengakses sumberdaya daratan maupun lautan yang berada di pulau-pulau tersebut. Bahkan, pulau-pulau tersebut menjadi tempat persinggahan sementara (transit) nelayan yang mencari ikan ke perairan yang lebih jauh atau nelayan asing yang mencuri ikan di Indonesia.
Adanya rencana pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan reforma agraria melalui pembagian lahan kepada masyarakat otomatis akan berimplikasi pada PPK. Pasalnya, UUPA belum mengatur hak kepemilikan lahan di PPK. Sebagai ilustrifikasi, apabila di daratan seseorang memiliki lahan seluas 2 hektar, maka batas-batas kepemilikan atas tanah/lahan tersebut sudah jelas yang kemudian dijustifikasi dengan setifikat tanah. Berbeda hal dengan PPK. Seseorang atau komunitas adat yang memiliki hak atas sebuah pulau kecil seluas 2 hektar misalnya. Apakah dia menguasai hanya sebatas lahan di pulau kecil itu sampai batas garis pantainya? Ataukah, menguasai juga sumberdaya yang ada di sekitar pulau kecil tersebut, umpamanya terumbu karang, lamun, mangrove atau pantai berpasir? Kejelasan hak kepemilikan seperti ini akan memberikan kepastian hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan PPK. Apalagi perhatian pemerintah terhadap PPK menjadi salah satu agenda pemerintah saat ini.
Mekanisme Hukum dan Kelembagaan
Kebijakan pemerintah mengeluarkan Perpres No. 78 Tahun 2005 yang mengatur pengelolaan PPK perbatasan patut mendapatkan apreasiasi yang positif. Artinya pemerintah sudah mencoba memberikan payung hukum yang mendasari pengelolaan dan pemanfaatan PPK. Sayangnya, Perpres tersebut selain bersifat parsial karena khusus untuk PPK perbatasan, namun konstrain batasan kewenangannya hanya seputar pengelolaan tata ruang PPK. Itupun tidak dijelaskan dalam Perpres tersebut, apakah mendasarkan pada tata ruang Kabupaten/Kota, provinsi atau tata ruang nasional?
Guna memperjelas status kepemilikan dan hak atas PPK di Indonesia, pemerintah harus mempersiapkan beberapa mekanisme hukum dan kelembagaan yang mengaturnya yaitu; pertama, dalam mengamandemen UUPA, pemerintah bersama DPR perlu memasukan pengaturan status hak dan kepemilikan (property right) PPK. Pengaturan ini termasuk menyangkut hak dan kepemilikan pribadi, komunal (termasuk masyarakat) adat), Negara maupun yang tidak terbuka untuk diakses/dimiliki oleh siapa pun.
Kedua, khusus PPK perbatasan dengan Negara tetangga pemerintah seyogyanya menetapkan sebuah aturan main tersendiri dan mekanisme kelembagaan khusus karena keberadaan PPK perbatasan memilki nilai politis dan strategis. Keberadaan Perpres 78 Tahun 2005 tidak cukup representatif. Di samping ruang lingkupnya memang bersifat terbatas, parsial dan tidak terintegrasi. Perpres itu juga sulit diterjemahkan pada tataran implementasi. Buktinya, hampir semua institusi pemerintah (departemen) teknis memprogramkan tentang pengelolaan dan pemanfaatan PPK perbatasan. Namun faktanya, program yang dikembangkan tidak memilki keterkaitan antar satu institusi dengan institusi lainnya. Kalaupun ada program yang dikembangkan bersifat duplikatif baik pada tataran konsepsional maupun implementatif. Dampaknya, alokasi anggaran dari APBN maupun berbentuk utang luar negeri yang dialokasikan pada setiap instansi pemerintah menjadi mubazir. Mengapa pemerintah tidak membuat mekanisme kelembagaan tersendiri misalnya Badan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan (BP3KP) yang mampu mengkordinasikan setiap program yang dikembangkan instansi pemerintah sehingga tidak terjadi duplikasi, dan ego-sektoral yang langsung di bawah komando Presiden RI di level pusat dan Bupati/Wali Kota serta Gubernur di level provinsi? Mungkin semacam Badan Pengelola Dampak Lingkungan (Bappedal) di level pusat maupun daerah. Mungkinkah hal ini dapat berjalan? Semuanya itu tergantung dari kemauan politik dan kepedulian kita terhadap nilai strategi sebuah pulau kecil di wilayah perairan territorial maupun perbatasan maritim.
Ketiga, pemerintah perlu menyusun blue print pembangunan PPK yang diwujudkan dalam bentuk sebuah kebijakan komprehensif dan terintegrasi. Kebijakan ini langsung dikendlikan oleh Presiden RI. Kita perlu bercermin pada pemerintahan Australia yakni Perdana Menteri Australis, Jhon Howard, melegitimasi dan memberikan dukungan penuh dalam pengembangan blue print pengelolaan estuaria dan Kebijakan Kelautan Australia (Australia Ocean Policy) yang diperkuat oleh instrumen hukum dan kelembagaan yang jelas. Mengapa kita Indonesia yang menganggap PPK begitu strategis tidak melakukan hal serupa ?
Kepentingan mengelola dan memanfaatkan PPK tidak sekadar kepentingan ekonomi semata yang berwujud pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, mempersempit jurang kesenjangan pembangunan dan keterisolasian daerah. Melainkan memiliki muatan kepentingan politik dan keamanan yang berujung pada eksistensi NKRI.

Islam dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

ISLAM DAN PENGELOLAAN SDA

Oleh : Muhamad Karim
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) TAZKIYA Bogor

Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki sumberdaya alam (SDA) yang diperbaharui maupun tidak diperbaharui melimpah. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui seperti hutan, ikan, tanaman perkebunan dan seterusnya. Sementara, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui berupa mineral, barang tambang (batubara dan emas), minyak dan gas. Sayangnya, SDA tersebut tidak mampu memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Apakah ada kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga saat ini hampir semua sumberdaya tersebut dikelola dan dikendalikan asing? Hampir setiap hari di media massa koran maupun televisi kita kerap mendengar berita illegal logging, illegal fishing maupun illegal mining. Kita sebagai pemilik sah sumberdaya itu hanya menjadi ”penonton” di rumah sendiri. Kita pun lupa bahwa sekitar 90 % penduduk negeri ini beragama Islam yang praktis tidak mendapatkan apapun dari praktek pengelolaan SDA semacam itu.
Perspektif Konvensional
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki kekayaan SDA melimpah secara teoritis harus berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat. Semakin melimpah SDA, akan semakin makmur bagi penduduknya. Faktanya, data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menyebutkan bahwa 69.957 desa di Indonesia (PODES, 2006) sekitar 45,2 % termasuk kategori desa tertinggal. Dari jumlah penduduk miskin yang mencapai 42,4 juta (BPS, 2006) sekitar 68,4 % berada di pedesaan. Mengapa kondisi asimetris bisa terjadi padahal kita memiliki SDA yang melimpah?
Dalam kepustakaan ekonomi sumberdaya ”konvensional” dinyatakan bahwa kepemilikan (property right) atas SDA dikelompokkan (Tietenberg, 1992); (i) kepemilikan pribadi (private property right); (ii) kepemilikan bersama (common property right), dan (iii) kepemilikan negara (state property right). Hampir 90 % pengelolaan SDA di Indonesia masuk kategori kepemilikan pribadi yang dalam hal ini direpresentasikan perusahaan multinasional (multinational corporation). Saat ini tidak ada lagi aturan yang membatasi mana barang publik (publik goods), mana milik pribadi dan mana yang diatur negara. Dalam bidang pertambangan minyak dan Gas pemiliknya Exxon Mobile, Shell, dan Total E & P. Sementara, dalam bidang pertambangan mineral (tembaga, emas dan batubara) pemiliknya Freepot, Newmont, Kalimantan Prima Coal (KPC). Dalam bidang perkebunan perusahaan-perusahaan Malaysia menguasai 90 % perkebunan Sawit di Sumatera dan Kalimantan. Sumberdaya air yang menjadi barang publik pengelolaannya pun sekarang dilakukan perusahaan-perusahaan asing yang awalnya berkedok proyek Water Resources Sector Adjustement Loan (Watsal) dari Bank Dunia. Bukan hanya itu, operasi penangkapan ikan di perairan Indonesia banyak dilakukan kapal asing bertonase besar. Parahnya lagi pemerintah justru membuat peraturan perundangan yang menjustifikasi pihak-pihak asing dalam menguasai SDA seperti UU MIGAS, UU Sumberdaya Air, UU Penanaman Modal Asing, UU Perikanan, UU Perkebunan, dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dst. Kondisi ini sebenarnya kontradiktif dengan UUD 1945 pasal 33 dimana ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ”dikuasai” oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Semangat konstitusi jelas membenarkan adanya kepemilikan negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti sumberdaya air, tanah, minyak dan gas, mineral serta lautan dan biotanya. Perspektif Islam
Islam sebagai agama ”wahyu” juga mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan SDA. Jenis kepemilikan atas SDA terdiri dari (i) kepemilikan individu (mikl fardhiyah); (ii) kepemilikan umum (milk’ammah) dan, kepemilikan negara (milk daullah) (Solihin, 2007). Terminologi konsep kepemilikan dalam Islam ini memang tidak berbeda dengan konsep ekonomi sumberdaya konvensional. Akan tetapi, secara substansi dan implementasi konsep kepemilikan (property right) menurut ajaran Islam berbeda signifikan. Islam mengakui kepemilikan individu/swasta akan tetapi tidak boleh memilikinya. Pemanfataannya pun hanya diperbolehkan pada batas tertentu agar tidak menimbulkan kerusakan atas SDA (Ar Rum : 41). Berkebalikan dengan konsep ekonomi liberal yang bukan sekadar menguasai, akan tetapi boleh mengeksplotasi tanpa batas bahkan memperjualbelikan dengan pihak lain dengan mengabaikan negara pemiliknya. Islam juga mengakui kepemilikan umum/bersama seperti barang tambang, tanah, sumber air (sungai, mata air), lautan dan biotanya (An Nahl, : 14) dan seterusnya yang juga ada batasan dalam pemanfaatannya. Islam mencontohkan bagaimana Nabi Saleh AS melakukan ”reforma agraria” atas tanah, padang-padang rumput, dan sumber air (oase) yang saat itu hanya dikuasai oleh sembilan keluarga dari kaum Tsamud yang mewarisi kebudayaan kaum Ad (suku pengembala) (Al Ar’af : 73). Reforma agraria tersebut mengakibatkan sumberdaya tersebut berubah kepemilikan dari individu (keluarga) menjadi milik bersama (common property right) (Zia Ul Haq, 1987).
Peran Negara
Jika kita transformasikan nilai ajaran Islam dalam konteks kekinian, peran negara yang pemimpinnya sebagai pengemban amanah rakyat harus mampu mengelola/mengendalikan dan memanfaatkan SDA demi mensejahterakan rakyatnya. Dalam perspektif ini substansi pasal 33 UUD 1945 jelas sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam. Akan tetapi, mengapa Negara sebagai intitusi tertinggi yang berperan dalam mengelola/mengendalikan dan memanfaatkan SDA justru ”mengabaikan” dengan amanat konstitusi? Parahnya, lagi negara justru memproduksi peraturan-perundangan yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Kita tidak perlu mengkaitkan dulu dengan ajaran Islam yang notabene dianut 90 % penduduk negara ini. Konstitusi yang jelas – jelas menentang penguasaan asing, kepemilikan individu yang tak terbatas (baca : UU Penanaman Modal) atas barang publik (public goods) yang menyangkut hajat hidup orang banyak justru diperbolehkan. Apakah hal ini merupakan bentuk baru dari kegagalan pemerintah (government failure) dalam mengelola SDA? Atau, memang kita sudah terjebak dalam arus neo-liberalisme yang ”memaksa” negara mengorbankan rakyatnya demi kepentingan sekelompok elita dan pihak asing yang menguasai aset ekonomi global?
Islam dengan Al Qur’an dan Al Hadist sebagai pedoman pokoknya tidak sekadar memuat teks-teks normatif saja. Melainkan, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mampu mentransformasikannya model pengelolaan SDA sekalipun tidak disebutkan bersumber dari keduanya. Ada beberapa yang dapat disebutkan di Indonesia antara lain (i) Model kelembagaan Panglima Laot yang mengatur perikanan laut di Aceh menurut sejarahnya bersumber dari filosofih ajaran Islam pada masa Kesultanan Aceh Darussalam (Saharuddin, 2006); (ii) Sama halnya dengan kelembagaan ”Sasi” yang mengatur penangkapan sumberdaya ikan secara komunal (Ikan Lompa dan Lola) juga dibangun atas nilai-nilai ajaran Islam di Maluku sejak dulu sampai kini; (iii) Penutupan perairan semacam situ yang kenal sebagai ”Lebaklebung” di Minangkabau juga bernapaskan ajaran Islam (Beckmann et all, 2001), dan (iv) Di wilayah Kesultanan Buton yang pada masanya sudah menerapkan syariat Islam dalam mengatur sistem penguasaan tanah, penangkapan ikan di laut, dan hukum tawan karang bagi kapal asing yang terdampar di perairan Buton. Model-model pengelolaan SDA tersebut yang kerap disebut kearifan lokal yang sejatinya mengandung mentranformasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam yang hakiki karena (i) dalam mengelola SDA ada aturan pengelolaan dan pemanfaatan (ii) adanya pengakuan kepemilikan inividu maupun publik/umum, tetapi pemanfaataannya terbatas karena harus ada jaminan keberlanjutan pada masa datang (sustainability), dan (iii) negara yang waktu itu direpresentasikan sebagai ”kesultanan” maupun ”kerajaan” bukan pemilik SDA, melainkan berperan mengatur dan mengendalikan pemanfaatannya sehingga memakmurkan rakyatnya. Awal tergerusnya nilai-nilai Islam transformatif ini akibat kolonialisme dengan idiologi kapitalisme/lebralisme-nya dengan semboyan gold, gospel dan glory. Sementara di masa kini, penjajahannya bersifat ekonomi (utang luar negeri dan liberalisasi perdagangan) tetap dengan idiologi kapitalisme/neo-liberalismenya.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia harus mulai membangun paradigma-paradigma transformatif berbasiskan agama khususnya Islam dalam mengelola SDA agar pemanfaatannya berkelanjutan. Tanpa itu, eksploitasi atas SDA oleh pihak asing maupun para kapitalis akan semakin merajalela. Rakyat akhirnya menjadi korban dengan dalih pembangunan (developmentalisme). Wallahu alam bisawab.

Kawasan EKonomi Khusus Maritim

KAWASAN EKONOMI KHUSUS MARITIM

Oleh : Muhamad Karim
Direktur Center for Ocean Development and Maritime Civilization Studies

Beberapa waktu yang lalu pemerintah Indonesia telah menetapkan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang mencakup Karimun, Bintan da Kota Batam. Ketiga daerah ini berupa pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Pengembangan kawasan ini pada dasarnya merupakan akselerasi dari pulau Batam yang memang sudah berkembang sejak berstatus sebagai daerah otorita. Penetapan sebagai KEK hanya ingin mengukuhkan dan memperluas kawasan yang dulunya hanya terkonsentrasi di Pulau Batam. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak mengembangkan gagasan ini di wilayah lain yang memiliki basis ekonomi yang khas, misalnya kelautan dan perikanan (LATKAN)? Mungkinkah model KEK ini dapat dikembangkan di wilayah perbatasan seperti Miangas, di Sulawesi Utara atau Pulau Sebatik di daerah Nunukan, Kalimantan Timur?
Kawasan Potensial
Pemerintah mengembangkan KEK di Karimun, Bintan dan Kota Batam berberbasiskan industri dan manufaktur. Pemerintah juga akan lebih baik mengembangkan daerah-daerah lain yang berpotensi untuk KEK berbasiskan sumberdaya kelautan dan perikanan. Kita menamakannya sebagai kawasan ekonomi khusus aritime (KEKTIM). Beberapa yang potensial adalah pulau Miangas yang berbatasan dengan General Santos, Filipina yang merupakan daerah industri perikanan terbesar di Asia Tenggara, pulau Sebatik yang berbatasan dengan Malaysia dan pulau Natuna yang dulunya sudah ditetapkan sebagai kawasan pengembanan ekonomi terpadu (KAPET). Sayangnya, KAPET tidak berkelanjutan dan sampai kini tidak ada lagi beritanya. Hemat penulis KEKTIM ini berorientasi dan berbasiskan pada kekuatan sumberdaya alam kelautan dan perikanan yang potensial seperti perikanan tangkap, industri perikanan, bioteknologi kelautan, budidaya laut (marine culture) perkapalan, dan pariwisata bahari. Pola pengembangannya dapat saja menduplikasi model kelembagaan otorita Batam yang lebih memfokuskan pada industri manufaktur, automotif, elektronk dan yang terbaru perkapalan. Sementara untuk KEKTIM mengembangkan model kelembagaan otorita yang lebih terkonsentrasi pada sumberdaya kelautan dan perikanan yang terpadu baik hulu maupun hilir. Pementah tidak usah lagi memberikan izin kapal-kapal asing menangkap ikan di perairan Indonesia. Melainkan, pemerintah akan lebih tepat mengajak mereka untuk berinvestadi dalam bidang kelautan dan perikanan. Pemerintah tinggal menyiapkan paket kebijakan, aspek hukum dan kelembagaan yang mendukung investor dalam berinvestasi di daerah – daerah menjadi KEKTIM.
Dukungan Pemerintah
Pengembangan KEKTIM sudah barang tentu membutuhkan dukungan pemerintah dari berbagai aspek. Hal ini penting karena daerah seperti pulau-pulau perbatasan dengan tetangga dihadapkan pada problem structural yaitu kesenjangan pembangunan, kemiskinan dan kerusakan lingkungan serta sumbedaya alam. Secara rinci problem tersebut antara lain (i) kesenjangan pembangunan dengan Negara tetangga (ii) kemiskinan masyarakat (iii) keterbatasan akses permodalan dan pasar bagi masyarakat, (iv) kebijakan fiscal dan moneter yang kurang kondusif (v) keterisolasian dan mobilitas penduduk akibat keterbatasan akses transportasi (vi) lemahnya penegakan hukum dan (vii) problem degradasi sumberdaya alam. Agar problem tersebut tidak menjadi kendala dalam pengembangan KEKTIM pemerintah perlu membrikan dukungan antara lain, pertama, membangun infrastruktur strategis yang mendukung KEKTIM seperti pembangunan pelabuhan, jalan dan jembatan, cold storage dan pasar.
Kedua, memperlancar akses armada transportasi laut seperti pelayaran perintis maupun kapal Pelayaran Nasional (PELNI) dua kali seminggu.
Ketiga, memperjelas status lahan di pulau-pulau kecil tersebut karena lahan-lahan tersebut akan mejadi lokasi untuk membangun infrastruktur pelabuhan, pengembangan akses jalan, industri pengolahan ikan, perkapalan, industri bioteknologi kelautan, perhotelan, pasar atau cottage.
Keempat, memperjelas kebijakan fiscal dan moneter. Umpamanya dalam bidang fiskal memberikan tax holiday, pajak bebas bea masuk barang dan jasa. Sementara bidang moneter memberlakukan kebijakan membolehkan menggunakan dua mata uang yaitu rupiah dan mata uang Negara tetangga.
Kelima, memberikan dukungan aspek hukum dan kelembagaan yang akan mengelola KEKTIM. Umpamanya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden tentang KEKTIM di Indonesia. Sementara, aspek kelembagaannya adalah membentuk badan pengelola model otorita Batam dahulu yang langsung diketuai Presiden RI dengan Ketua Hariannya instansi terkait. Akan lebih baik, apabila Ketua Hariannya adalah orang/pejabat Negara yang memiliki akses kuat secara internasional dan posisi tawar politik tinggi di tingkat nasional. Di leel implementasi dukungan kebijakan yang paling urgen adalah menyusun instrumen pendukungnya berupa “Master Plan” dari KEKTIM.
Keenam, ggasan KEKTIM ini tidak bermakna sama sekali bahkan mandek apabila tidak mendapatkan dukungan politik dari DPR maupun Presiden RI sendiri. Dukungan politik tersebut tidak sebatas melakukan upacara seremonial model Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) atau pembentukan tim koordinasi pengelolaan pulau-pulau perbatasan. Melainkan lebih dari itu seperti aspek hukum, pembiayaan dalam APBN, dan keseriusan pemerintah dalam artian bukan sekedar retorika.
Ketujuh, antisipasi dampak social yang dulunya kurang terakomodir dalam kasus pengembangan pulau Batam. Munculnya KEKTIM ini jangan sampai menjadi lahan baru berkembangnya bisnis obat terlarang, prostitusi, perjudian serta jaringan penyelundupan barang.
Kedelapan, dukungan pertahanan dan keamanan. Pentingnya pertahanan dan keamanan bukan berarti melibatkan mereka dalam dunia bisnis. Akan tetapi, keterlibatan mereka sebagai pihak yang memperkuat eksistensi NKRI dan konteks geo-politik, geo-strategis maupun geo-ekonomi. Mengingat keterlibatan pihak-pihak asing dalam dunia bisnis dan investasi membutuhkan kenyamanan dan resiko yang rendah (low country risk). Kesemua dukungan yang diuraikan ini penting sekali untuk menunjukan keseriusan dan menjadi “insentif” bagi kalangan investor asing maupun domestik.
Dampak
Mengembangkan KEKTIM di daerah perbatasan maritim akan berdampak pada, pertama, terjadinya pemanfaatan sumberdaya kelautan danm perikanan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam kurun waktu tahun 1999-2006 sejak pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Dewan Maritim Indonesia (DMI), RPPK, belum ada output yang riil tentang pembangunan kelautan dan perikanan. Semuanya jalan di tempat. Setidaknya dengan gagasan ini dalam kurun waktu lima tahun pemerintahan dengan mengembangkan satu kawasan saja, -- umpamanya pulau Miangas — output nya akan kelihatan.
Kedua, terjadinya pemerataan pembangunan. Kesenjangan pembangunan, kawasan maupun sektoral antara wilayak perbatasan dengan wilayah lain di Indonesia akan semakin berkurang.
Ketiga, terciptanya lapangan kerja baru. Berkembangnya investasi akan berimpliksi pada meningkatkan permintaan tenaga kerja. Implikasinya mobilitas manusia dari daerah-daerah yang padat penduduknya padat dan banyak pengangguran akan semakin tinggi.
Keempat, terciptanya multiplier effect secara ekonomi karena akan berkembang pulau sektor-sektor ekonomi non-formal, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan jasa. Umpamanya, sektor informal seperti warung makan, perbengkelan, restoran, guide untuk pariwisata, salon, angkutan umum dan masih banyak lagi lainnya.
Kelima, secara geo-politik dan geo-strategis kita bangsa Indonesia telah memosisikan kawasan perbatasan maritime sebagai “halaman depan” dari NKRI. Hal ini akan berimplikasi terhadap munculnya perubahan paradigma pembangunan bangsa dari orientasi kontinental menjadi maritim dengan “main set” awalnya adalah kawasan ekonomi khusus maritim (KEKTIM). Semoga!

Minggu, 17 Februari 2008

Empat UU Yang Menggerus Masyarakat Pesisir

Empat UU Yang Menggerus Masyarakat Pesisir

Oleh : Muhamad Karim
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) TAZKIYA Bogor/
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Indonesia

Masyarakat pesisir secara geografis bermukin di wilayah pesisir yakni daerah dimana masih dipengaruhi oleh dinamika lautan ke arah darat dan dinamika daratan ke arah lautan. Akibatnya secara sosio-kultural, masyarakat pesisir sangat bergantung terhadap sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir di lautan maupun daratan. Di lautan masyarakat pesisir bergantung pada sumberdaya alam kelautan seperti ikan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Sementara, di daratan masyarakat pesisir bergantung terhadap sumberdaya air, lahan untuk pertanian tanaman pangan, pertambakan, dan permukiman. Dengan demikian kedaulatan masyarakat pesisir adalah kedaulatan atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut. Sayangnya, kedaulatan masyarakat pesisir (coastal community sovereignity) saat mengalami penggebirian akibat munculnya beberapa peraturan perundangan baik di daratan, perairan pesisir maupun perairan lepas pantai (off shore).
Peraturan Perundangan
Terdapat peraturan perundangan yang berlaku di daratan maupun lautan yang ”merampas" kedaulatan masyarakat pesisir. Di daratan, pertama, UU No. 7 Tahun 2004 yang memprivatisasi sumberdaya air di Indonesia. Pasal-pasal kontroversial dalam UU SDA adalah pasal 7, 8 dan 9 yang mengatur Hak Guna Air (HGA) dan boleh dikuasai pemodal asing. Bukankah UU ini menutup akses masyarakat pesisir (petani tambak) untuk mendapatkan “air” guna kegiatan pertambakan udang maupun ikan serta kebutuhan hidup sehari-hari? Tidak hanya itu, kegiatan pertanian di wilayah pesisir yang bergantung pada air semacam pertanian pasang surut akan mengalami kesulitan air karena harus membeli dari pengusaha. Padahal sumberdaya air merupakan barang publik (public goods) yang harus dikuasai dan dilindungi oleh negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak (baca : Pasal 33 UUD 1945).
Kedua, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana pasal 22 memberikan Hal Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun dan Hak pakai 70 atas tanah kepada investor (domestik maupun asing) termasuk di wilayah pesisir. Padahal UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 saja hanya memberikan hak-hak semacam ini maksimal 30 tahun. Akibatnya, lahan-lahan tambak produktif di wilayah pesisir Indonesia yang diperkirakan seluas 500.000 hektar akan dikuasai oleh pemilik modal (kapitalis). Bukankah hal ini merampas hak masyarakat pesisir untuk mengakses sumberdaya tanah/lahan di wilayah pesisir?
Sementara di lautan, pertama, UU Perikanan No. 31 Tahun 2004. Terdapat beberapa pasal kontroversial yang menutup akses masyarakat pesisir yakni (i) pasal 29 ayat 2 yang memberi akses pihak asing menangkap ikan di perairan Indonesia; (ii) pasal 36 tentang persyaratan kelengkapan pendaftaran kapal. Pemberlakukan pasal ini telah memakan korban nelayan tradisional di Kabupaten Biak-Numfor yang ditangkap aparat tanpa alasan yang jelas, dan (ii) pasal 37 tentang ketidakjelasan daerah dan jalur penangkapan ikan. Pasal ini berpotensi menimbulkan tindakan penyerobotan wilayah penangkapan perikanan pantai (artisanal) oleh kapal ikan asing maupun domestik yang modern. Selain itu, potensi konflik antara nelayan tidak akan terhindarkan, kejadian antara nelayan Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan baru-baru ini. Bukankah ketentuan ini mengganggu eksistensi perikanan pantai (artisanal) yang didominasi nelayan tradisional ?
Kedua, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisi dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Adanya pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22 tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) semakin ”memperparah” pencabutan hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumberdaya baik di permukaan laut, badan air maupun di bawah dasar laut. Tidak ada lagi ruang bagi masyarakat pesisir khususnya nelayan, petani ikan, pelaku UKMK kelautan dan buruh nelayan melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir. Semua akses sumberdaya kelautan praktis akan dikuasai pemilik modal. Sebab, hanya merekalah yang mampu memenuhi segala persyaratan yang diatur dalam UU itu. Masyarakat pesisir hanya menjadi ”penonton” karena tidak mempunyai modal besar dan teknologi untuk bersaing dengan para pemilik modal. Hal ini mengakibatkan kemiskinan masyarakat pesisir akan bertambah parah. Bukan hanya itu, sumberdaya kelautan dan perikanan serta lingkungan pesisir juga akan mengalami degradasi akibat eksploitasi yang tak terkendali. Kita tidak pernah belajar dari kegagalan menerapkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) di masa Orde Baru yang akhirnya menghancurkan sumberdaya hutan Indonesia di Kalimantan, Sumatera maupun Sulawesi.
Dampak
Diberlakukannya peraturan perundangan tersebut memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat pesisir yang dominan miskin. Dampaknya, pertama, akses masyarakat pesisir terhadap sumberdaya ekonomi wilayah pesisir seperti sumberdaya ikan, air, lahan, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan mineral di dasar lautan. Sekalipun, UU Perikanan pasal 61 memberi kekebasan pada nelayan kecil dan UU PWP3K pasal 61 mengakui hak-hak masyarakat adat, kearifan lokal, namun hal itu hanya ”retorika” semata. Sejatinya masyarakat miskin pesisir ini tidak mungkin dapat bersaing dengan pemilik modal besar.
Kedua, implementasi keempat UU ini berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) antara pemilik modal dan pejabat berwenang dalam proses perizinan, pengendalian dan pengawasan baik di pusat maupun daerah. Bukan tidak mungkin para pemodal yang telah mengeksploitasi sumberdaya ekonomi wilayah pesisir secara tidak bertanggungjawan akan dengan mudah menghindar dari hukuman akibat berkolusi dengan pejabat berwenang.
Ketiga, sumberdaya ekonomi wilayah pesisir dapat diperjualbelikan (tranferabillity) dan dikuasai sekaligus dikontrol untuk bidang usaha tertentu, sehingga hanya segelintir pemilik modal yang mengelola dan memanfaatkannya. Sangat mustahil hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat miskin di wilayah pesisir.
Keempat, terjadnya eksploitasi berlebihan atas sumberdaya ekonomi wilayah pesisir. Masalahnya, adalah siapa yang menjamin pemilik modal untuk mengontrol eksploitasi sumberdaya ekonomi wilayah pesisir sementara sumberdaya itu sudah kuasai dan kontrol penuh? Apalagi era otonomi daerah yang memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan pemilik modal baik asing maupun domestik.
Kelima, semakin meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran pada masyarakat pesisir akibat terbatasnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi di wilayah ini. Berkembangnya aktivitas usaha ekonomi skala besar berbasiskan sumberdaya ekonomi wilayah pesisir belum tentu akan menggunakan tenaga kerja lokal karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kualitas SDM.
Kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir tidak bisa dirampas begitu saja dengan dalih pengaturan dan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Negara wajib melindungi dan mengakui kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut karena amanat konstitusi. Pemerintah dan DPR wajib melakukan ”judical review” terhadap semua UU di atas karena sumber-sumber ekonomi yang diatur berupa barang publik (public goods) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan sebaliknya, mempertahankan semangat neo-liberalisme yang menunggangi kepentingan asing dibalik semua peraturan perundangan tersebut. Apapun alasannya kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah pesisir harus dikembalikan agar mereka tetap dapat memberdayakan diri dan meningkatkan kesejahteraannya.

Politik Membangun Keterpurukan Nelayan

Politik Membangun Keterpurukan Nelayan

Oleh : Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/Dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) TAZKIA, Bogor

Selama medio awal 2008, semua koran nasional memberitakan keterpurukan nelayan di Cirebon, Indaramayu, Bengkulu, Aceh, Banjarmasin dan NTT. Penyebabnya, gelombang laut tinggi, angin kencang dan harga BBM melambung. Praktis mereka berhenti melaut.. Ada yang nekat beroperasi, tapi hasilnya merosot tajam. Jadilah mereka pengangguran. Beberapa beralih profesi sebagai buruh tani dan bangunan. Tapi, semua itu tidak menolong. Harga kebutuhan pokok melambung, biaya kesehatan dan pendidikan anak – anaknya mahal belum juga teratasi. Jalan satu-satunya mengutang pada rentenir/juragan. Mengapa semua ini terjadi? Apakah tidak ada jalan lain buat menyelematkan mereka?
Keterpurukan
Keterpurukan nelayan Indonesia tidak selamanya karena faktor alam. Ada unsur ekonomi - politik menyertainya. Pertama, keluarnya UU Perikanan No 31 Tahun 2004 dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) Tahun No 27 Tahun 2007 merugikan nelayan secara politik. Keduanya memberi celah pihak asing beroperasi di perairan dan menguasai wilayah pesisir Indonesia. Keduanya juga tidak membela kepentingan nelayan.
Kedua, selamam ini nelayan tidak mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya. Kapal ikan asing dan domestik modern bebas menyerobot wilayah tangkap perikanan tradisional. Mereka merusak fishing ground ikan karena menggunakan alat tangkap destruktif trawl, racun sianida dan bahan peledak. Akibatnya, hasil tangkapan menurun dratis.
Ketiga, negara ”gagal” melindungi dan mengakui hak-hak nelayan atas sumberdaya wilayah pesisir. Pasal 16-22 UU PWP3K menutup semunya dengan memberlakukan Hak Pengelolan Perairan Pesisir (HP3). Mungkinkah nelayan miskin mampu mendapatkan HP3? Bukankah aturan ini menguntungkan asing dan pemodal besar? Sebuah kebijakan ”konyol” yang menindas.
Keempat, politik konservasi berkedok warisan dunia (world heritage) telah mengorbankan kedaulatan dan akses nelayan atas sumberdaya ikan. Umpamanya, daerah perlindungan laut (Marine protected area) yang melarang nelayan menangkap ikan di wilayah itu. Tidak hanya itu, di pulau Komodo mereka ditembakin. Mengapa negara kerap menumbalkan nelayan sebagai perusak sumberdaya ikan? Mengapa kapal asing dan pengusaha besar menguras ikan di perairan Arafura, Laut Sulawesi, Laut Cina Selatan dan Pantai Selatan Jawa menggunakan trawl luput dari perhatian? Bukannya anti konservasi. Tapi, jangan satu pihak dikorbankan, sementara pihak lain diuntungkan. Mengapa kita tidak merevitalisasi dan menghidupkan politik konservasi berbasis kearifan lokal ala masyarakat pesisir Indonesia?
Kelima politik anggaran APBN/APBD dan moneter kurang mencerminkan sektor riil perikanan tradisional. Otoritas moneter cenderung alergi mengucurkan kredit lunak buat nelayan, karena tanpa jaminan. Wajar saja nelayan mengalami ketergantungan modal pada rentenir/juragan.
Keenam, politik IPTEK nasional juga kurang berpihak pada sektor riil perikanan tradisional. Nelayan sulit sekali mengakses teknologi tepatguna. Selain memang modal terbatas, affirmative policy-nya hampir nihil.
Ketujuh, kenaikan BBM lebih dari 100% awal Tahun 2007 memperparah keterpurukan nelayan. Usulan subsidi BBM bagi nelayan ditolak Wakil Presiden, Yusuf Kalla. Mengapa petani mendapatkan subsidi sementara nelayan tidak? Inilah unsur-unsur ekonomi politik yang meminggirkan nelayan di negeri ini.
Kebijakan Politik
Membangun komunitas nelayan tidak sekadar ekonomi an sick. Terdapat kebijakan politik nasional maupun regional menyertainya. Pertama, adanya kebijakan negara memberikan hak akses (acces right) dan mengelola daerah perikanan tradisional sejauh 4 mil laut bagi nelayan. Ia juga wajib melindunginya secara hukum dari serbuan kapal asing dan pemodal besar, karena adanya fishing ground ikan, pengelolaan adat dan dan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove. Bagi petambak melalui reforma agraria di pesisir (land coastal reform). Rencana pemerintah SBY-JK akan membagi-bagikan lahan 5 juta ha pada petani tahun 2008, semestinya berlaku pula bagi petambak di pesisir? Kedua, merevitalisasi dan menghidupkan model-model konservasi berbasis hukum adat dan kearifan lokal, seperti Sasi di Maluku, Mane’e di Minahasa, dan Gamson di Papua. .
Ketiga, politik anggaran (APBN/APBD) dan moneter lebih mencerminkan sektor riil perikanan tradisional, terutama. daerah-daerah berbasis kepulauan. Politik anggaran berupa alokasi APBN/APBD untuk membangun infrastruktur (pasar alternatif nelayan, pelabuhan perikanan dan pengadaan armada nelayan tradisonal). Politik moneter berupa kerdit lunak bagi nelayan berbentuk syariah maupun konversional. Politik ini perlu mendapat dukungan kelembagaan yakni lembaga keuangan mikro (LKM) maupun BMT, penjaminan pemerintah daerah, pendampingan, serta manajemen keuangan dan organisasi. .
Keempat, affirmative policy dalam aspek teknologi berorientasi sektor riil perikanan tradisional. Teknologi ini akan mendiversifikasi dan menambah milai tambah produk perikanan. Umpamanya, teknologi pengolahan tepung ikan.
Kelima, adanya subsidi BBM bagi nelayan tradisional. Kita perlu mencontoh pemerintah Bolivia dan Venezuela mengalokasikan 10 % pendapatan minyak bumi dan gas (MIGAS)-nya guna mensubsidi petani, nelayan serta pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Mengapa kita tidak melakukan hal serupa? Bukankah kita negara juga penghasil MIGAS? Dengan kebijakan-kebijakan politik, setidaknya mampu membangun kedaulatan, harkat dan martabat serta membangkitkan nelayan dari keterpurukan.

Menyoal Revitalisasi Perikanan

Menyoal Revitalisasi Perikanan
Oleh : Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Perdaban Maritim

Sudah setahun yang lampau revitalisasi pertanian, perikanan dan kelautan (RPPK) dicanangkan. Tepatnya tanggal 11 Juni tahun 2005 di bendungan Jati Luhur Jawa Barat. Dalam kurun waktu setahun ini perkembangan program ini belum mencerminkan hasil yang menggembirakan. Memang di awal pencanangan gagasan ini sudah banyak pihak yang mengkritisinya, terutama dari kalangan intelektual kampus, pakar perikanan dan kelautan serta kehutanan. Bahkan tidak sedikit dari mereka menganggap RPPK sekadar retorika pemerintah. Dalam artikel ini penulis menyoroti khusus revitalisasi perikanan. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah sektor perikanan selama ini sudah vital dalam pembangunan nasional sehingga mampu mensejahterakan masyarakat terutama nelayan dan petani ikan? Kalau belum menemukan jawabannya berarti apa yang perlu direvitalisasi dalam pembangunan perikanan?
Substansi Revitalisasi
Dalam tiga dasa warsa terakhir sejak kebijakan modernisasi perikanan tahun 1970-an, sektor perikanan belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan nasional. Paling tidak dalam setahun hanya berkontribusi terhadap pendapatan nasional sebesar US$ 2 miliyar. Penulis mencermati bahwa revitalisasi perikanan dimaksudkan untuk menggenjot kontribusi perikanan terhadapa pendapatan nasional melalui pendapatan nasional bukan pajak (PNBP). Sayangnya, revitalisasi perikanan baik dalam tataran konsepsional maupun program aksinya tidak jelas. Hal ini disebabkan indikator keberhasilan revitalisasi perikanan dilihat dari seberapa besar kontribusi institusinya khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) terhadap PNBP. Revitalisasi perikanan harusnya dimaknai sebagai suatu sistem pembangunan yang terintegrasi dengan komponen daratan yaitu pertanian dan kehutanan. Namun yang terjadi adalah revitalisasi perikanan hanyalah penjelmaan modernisasi perikanan tahun 1970-an itu. Substansi revitalisasi perikanan lebih dibumbuhi dengan aransemen bahasa yang baru yang memang sudah berkembang sebelumnya. Di sinilah ketidakjelasan dari kebijakan revitalisasi perikanan.
Hemat penulis revitalisasi perikanan yakni mengembalikan sub sektor perikanan mana yang pernah vital dan berkontribusi signifikan dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Konsep revitalisasi perikanan sekarang ini lebih ke arah pengembangan subsektor baru dalam bidang perikanan seperti budidaya rumput laut, perikanan lepas pantai (ZEE) dan laut dalam (deep sea) dan ekstensifikasi pertambakan udang serta kerapu. Padahal budidaya rumput laut dan kerapu, perikanan lepas pantai serta perikanan laut dalam baru berkembang sejak tahun 2000-an. Terkecuali pertambakan udang memang pernah vital di Indonesia. Namun, revitalisasi untuk tambak udang harusnya melakukan intensifikasi lahan-lahan tambak yang sudah tidak produktif lagi (lahan bera) dengan menggunakan teknologi tambak biocret atau model tambak silvofisheries. Kedua teknologi pertambakan ini tidak perlu lagi membabat hutan mangrove. Malahan tambak silvofisheries dipadukan dengan rehabilitasi mangrove.
Sementara itu, subsektor perikanan tangkap diarahkan untuk mengembangkan perikanan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Problemnya, penangkapan ikan di ZEE kerapkali berhadapan dengan kapal asing yang juga beroperasi di wilayah itu. Kapal asing memiliki teknologi penangkapan dan sumberdaya manusia yang terlatih dalam aktivitas penangkapan. Aktivitas mereka inipun mendapatkan jaminan dari UU Perikanan No. 31 Tahun 2004. Oleh karena itu pemerintah harus mengamandemen dulu UU tersebut, apabila mau mengembangkan perikanan nasional di ZEE. Perikanan ZEE ini masih belum optimal dikembangkan sebagai aktivitas perikanan nasional. Perikanan ZEE selama ini hanyalah bersifat kamuflase karena benderanya menggunakan bendera Indonesia. Akan, tetapi faktanya kapal itu milik asing karena kapal dan anak buah kapal (ABK) berasal dari negara yang mengoperasikannya. Dimana letak vitalnya kalau memang perikanan tangkap menjadi agenda revitalisasi perikanan? Lebih aneh lagi perikanan darat tidak menjadi prioritas dalam revitalisasi perikanan khususnya budidaya kolam dan danau (misal jaring apung). Inilah yang saya maksudkan antara perikanan, pertanian dan kehutanan memiliki keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini bersifat ekosistem karena aktivitas pertanian dan kehutanan pada akhirnya akan menghasilkan limbah dan run off dari lahan-lahan pertanian.
Hemat saya pemerintah harusnya tidak perlu memberikan angin surga revitalisasi terhadap masyarakat perikanan (nelayan, petani ikan dan pelaku industri perikanan). Pemerintah sebaiknya menyusun kebijakan yang jelas tentang pembangunan perikanan. Tidak perlu menggunakan istilah ”revitalisasi”, Gerbang Mina bahari (GMB) atau Revolusi Biru di masa lalu seolah-olah menjadi dewa penyelamat pembangunan perikanan nasional. Cukup menggunakan istilah pembangunan perikanan saja, tetapi substansi dan arah kebijakan serta indikator keberhasilannya jelas.
Keunggulan
Apabila melihat keunggulan sektor perikanan terdapat beberapa indikator yang dapat dijadikan dasar pertimbangan; pertama, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yaitu mengukur efisiensi suatu kegiatan investasi. Makin rendah nilai ICOR, investasi yang dilakukan semakin efisien. Nilai ICOR sektor perikanan berdasarkan tabel input output (I-O) tahun 1995 sebesar 3,42 dan I-O tahun 2000 sebesar 3,31. Nilai ini lebih rendah dari ICOR Indonesia tahun 2003 sebesar 3,6 (Kusumastanto, 2004). Artinya, sektor perikanan cukup efisien dan mempunyai resiko yang relatif kecil untuk berinvestasi. Indeks ICOR ini juga memberi arti bahwa sektor perikanan berpeluang mendapatkan prioritas pengembangan mengingat bidang ini banyak berkaitan dengan masyarakat pesisir yang miskin.
Kedua, daya saing. Analisis daya saing sektor perikanan menggunakan revealed comparative advantage (RCA). Kelemahan analisis ini adalah bersifat statis dan adanya asumsi bahwa setiap negara mengekspor semua komoditi atau kelompok komoditi yang diteliti. Apabilai nilai RCA > 1, kesimpulannya negara tersebut memiliki keunggulan komperatif akan komoditi tersebut di pasar internasional. Hasil analisis PKSPL-IPB dan Bappenas 2005 menyimpulkan (i) nilai RCA yang menempatkan Indonesia dalam peringkat pertama di pasar internasional adalah Tuna fresh or chilled, whole; Crabs, not frozen; Shrimp and prawn frozen, RCA masing-masing 38,9, 28,5 dan 13,6. Kompetitor komoditi Tuna fresh or chilled, whole yaitu Filipina dan Australia. Sementara kompetitior komoditi Crabs, not frozen, adalah Cina dan United Kingdom (UK). Untuk komoditas Shrimp and prawn frozen kompetitornya India dan Thailand; (ii) nilai RCA yang menempatkan Indonesia peringkat kedua adalah Crustacean, RCA sebesar 10,5. Kompetitor Indonesia hanyalah Canada dan India; (iii) nilai RCA yang menempatkan Indonesia peringkat ketiga adalah Crustacean nes, frozen, RCA sebesar 10,4. Negara kompetitornya adalah Denmark dan Irlandia; (iv) nilai RCA yang menempatkan Indonesia peringkat keempat adalah Tuna nes, fresh or chilled, whole; skipjack, stripe-belly bonito, fresh or chilled, whole; dan Eels, fresh or chilled, whole dengan nilai RCA masing-masing 5,6; 0,7; dan 0,00. Komoditas Tuna nes, fresh or chilled, whole; kompetitornya Kroasia dan USA. Sementara komoditas skipjack, stripe-belly bonito, fresh or chilled, whole kompetitornya Turki dan Venezuela, sedangkan komoditas Eels, fresh or chilled, whole kompetitornya Spanyol dan United Kingdom; (v) nilai RCA yang menempatkan Indonesia peringkat kelima adalah Rock lobster and other sea craw fish, not frozen dengan nilai RCA sebesar 2,5. Kompetitornya Afrika Selatan dan Mexiko. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa komoditas perikanan Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di pasar internasional.
Ketiga, daya serap tenaga kerja. Hasil analisis penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa usaha dalam komoditas ikan laut dan hasil laut lainnya, ikan darat dan hasil perairan darat serta perikanan udang mampu menyerap tenaga kerja sebesar 3,37 %. Aktivitas pengolahan ikan kering dan asin serta ikan olahan dan awetan menyerap tenaga kerja sebesar 0,83 %. Hal ini apabila dilihat dari daya serap tenaga kerja sektor pertanian. Sementara, dilihat dari daya serap total tenaga kerja nasional aktivitas perikanan laut dan hasil laut lainnya, perikanan darat dan hasil perairan darat serta perikanan udang menyediakan lapangan pekerjaan sebesar 1,48 %. Sementara, aktivitas pengolahan ikan kering dan asin serta ikan olahan dan awetan menyediakan lapangan kerja sebesar 0,36 %.
Dari pertimbangan tersebut mencerminkan sektor perikanan memiliki keunggulan dalam efisiensi investasi, daya saing di pasar internasional dan penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian tanpa harus menggunakan idiom “revitalisasi” sektor perikanan sudah memiliki keunggulan dalam pembangunan ekonomi nasional. Persoalannya sekarang maukah pemerintah memberikan komitment politik guna mendorong perikanan sebagai kekuatan baru (new strength) dalam menggerakan sektor riil di Indonesia?
Pembangunan perikanan nasional tanpa revitalisasi pun akan berjalan baik dan berkontribusi terhadap pembangunan nasional asalkan kita mampu menyusun kebijakan perikanan, strategi, disertai action plan yang jelas dan kongkrit. Bukan sekadar retorika politik pemerintah untuk menunjukkan kepada rakyat seolah-olah sudah “berbuat” serius untuk bangsa ke depan. Tentunya kesemuanya itu akan berjalan optimal apabila mendapatkan juga dukungan politik dari legislative, reformasi kelembagaan peraturan perundingan (UU Perikanan, kebijakan perizinan, dll) yang tidak merugikan rakyat pesisir serta adanya reformasi birokrasi yang menghapus kejahatan birokrasi (bureaucratic crime) di semua level kekuasaan pusat maupun daerah. Semoga !

Platform Pembangunan Kelautan

Platform Pembangunan Kelautan
Oleh: Muhamad Karim
Direktur Center for Ocean Development and Maritime Civilization Studies (COMMITS)

PEMILIHAN Umum 2004 sebentar lagi dilaksanakan. Namun, yang paling ramai adalah pemilihan Presiden RI secara langsung. Kini para calon presiden sudah bermunculan. Dalam Pemilu 2004, setiap capres mengampanyekan platform pembangunan masing-masing. Sayang, para calon presiden (capres) yang sudah beredar di media massa tak seorang pun memiliki platform pembangunan kelautan. Kalaupun ada, masih bersifat parsial dan sektoral. Sebuah ironi bagi negara maritim di mana tiga per empat wilayahnya (5,8 juta kilometer persegi) adalah lautan.

Keharusan

Kontribusi sektor kelautan dari tujuh sektor strategis adalah transportasi laut, perikanan laut dan payau, industri kelautan (marine industry), pariwisata bahari, bangunan kelautan, pertambangan lepas pantai, dan jasa kelautan dalam produk domestik bruto nasional tahun 1998 mencapai 20,06 persen. Angka ini cukup signifikan ketimbang pertanian 12,62 persen, pertambangan dan penggalian 4,21 persen, industri manufaktur 19,92 persen, dan jasa 41,12 persen.
Realitas ini mengharuskan para capres mengampanyekan platform pembangunan kelautan. Namun, faktanya, para capres yang beredar saat ini belum menyentuh sama sekali sektor kelautan. Hal ini dikarenakan kesalahkaprahan memahami pembangunan kelautan. Pembangunan kelautan hanya dianggap sebagai perikanan an sich. Jadi, di masyarakat, yang populer tentang pembangunan kelautan hanya kebijakan modernisasi perikanan tangkap dan industri penambakan udang. Sebuah kekeliruan fatal dalam memahami pembangunan kelautan. Selain itu, para capres masih terkooptasi slogan pembangunan ekonomi nasional warisan Orde Baru yang memosisikan Indonesia sebagai negara agraris.
Para capres seakan terlupa, Indonesia adalah negara kepulauan (archipelago state) yang dikelilingi lautan. Jarang sekali di dunia ini ada negara yang terletak pada pertemuan dua lautan besar seperti Indonesia, yakni Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Keunggulannya, pertama, dari kaca mata keilmuan biologi laut dan oseanografi, pertemuan dua arus lautan besar dengan massa air berbeda kerap mengandung bahan nutrien yang tinggi, subur akan plankton, dan kaya sumber daya ikan.

Kedua, secara geopolitik dan geostrategis, letak itu mempengaruhi percaturan ekonomi dunia karena wilayah Indonesia merupakan jalur pelayaran dan perdagangan internasional yang ramai menghubungkan kawasan Pasifik dan Atlantik. Bukankah perekonomian di kedua kawasan itu akan lumpuh total jika Indonesia memblokade jalur pelayaran kapal–kapal yang berlayar menuju kedua kawasan itu, seperti Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar?
Umpamanya, Indonesia memasang ranjau di perairan-perairan itu. Apakah para capres yang beredar saat ini menyadari keunggulan itu? Jawabnya, kita kembalikan kepada mereka masing-masing yang sekarang sudah mempersiapkan diri dengan tim suksesnya.

Platform pembangunan
Saat ini pembangunan kelautan nasional seolah-olah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, pemerintah bermaksud mengedepankan kelautan sebagai arus utama (mainstream) pembangunan nasional, terintegrasi dengan daratan (terestrial) yang dibuktikan dengan terbentuknya kelembagaan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Tetapi, di sisi lain, kepemimpinan nasional dan birokrasi pemerintahan kita dalam bidang kelautan belum memiliki visi dan agenda yang jelas mengenai pembangunan kelautan. Buktinya, sampai saat ini, pemerintah belum memiliki blue print kebijakan pembangunan kelautan nasional (National Ocean Development Policy/NODEP).
Visi pemerintah tentang pembangunan kelautan lebih bersifat parsial. Terkesan, keberadaan DKP belum merepresentasikan sebuah institusi negara dalam bidang kelautan. DKP hanya berperan sebagai institusi yang hanya mengurusi aspek perikanan. Buktinya, kebijakan DKP kental dengan kebijakan pembangunan perikanan, umpamanya, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, Gerbang Mina Bahari, dan Kemitraan Bahari (Sea Grant).
Institusi-institusi negara yang juga mengurusi kelautan belum memiliki platform yang sama tentang "pembangunan kelautan". Penyebabnya adalah bangsa Indonesia memang belum memiliki NODEP yang mengintegrasikan dan menyinergikan kebijakan antar-institusi negara dalam bidang kelautan. Kepemimpinan nasional kita juga belum all out menjadikan kelautan sebagai arus utama pembangunan nasional. Jadi, dalam Pemilu 2004, rakyat Indonesia harus memilih presiden yang memiliki platform pembangunan kelautan.
Kepemimpinan dan sumber daya manusia (SDM) yang berkiprah dalam bidang kelautan juga tidak memiliki pemahaman holistis mengenai pembangunan kelautan. Mungkinkah SDM yang dulunya lebih banyak berkiprah dalam aspek non-kelautan tiba-tiba harus menggeluti dunia kelautan yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan spesifik? Belum lagi tantangan, problem, dan subkultur yang berkembang dalam bidang kelautan relatif kompleks dan multi-sektor. Karena itu, kita membutuhkan kepemimpinan yang visioner, berjiwa enterpreneur, menegakkan good and clean governance dalam sistem birokrasi, serta memahami betul bagaimana mengelola pembangunan kelautan secara profesional.

Hal lain adalah soal keter- gantungan pembangunan kelautan nasional pada utang luar negeri. Contohnya yaitu (i) rehabilitasi terumbu karang (Coral Reef Management Project/COREMAP) senilai 200 juta dollar AS dari Bank Dunia; (ii) pengembangan pulau-pulau kecil senilai 50 juta dollar AS dari Pemerintah Spanyol (Kompas, 01/10/2003); (iii) Sea grant untuk pengembangan usaha kecil dan menengah kelautan melalui kemitraan dari Asia Development Bank senilai 1,7 juta dollar AS, dan (iv) Cooperation of Fisheries Management (co-fish), yakni untuk pengelolaan sumber daya perikanan senilai 1,5 juta dollar AS dari Bank Dunia. Betulkah program-program yang dibiayai utang luar negeri tersebut telah memberikan dampak positif terhadap pembangunan kelautan dan kesejahteraan rakyat pesisir, khususnya nelayan? Mengapa dana program co-fish di Pantai Prigi, Kabupaten Trenggalek, "dikorupsi" oknum pemerintah pusat sampai mencapai 25 persen dengan dalil membiayai perjalanan pejabat pusat ke lokasi proyek? (Kompas, 09/01/004) Bukankah dalil ini menjadi jurus pejabat menghindari hukum dan jalan pintas memperkaya diri? Karena itu, perlu kampanye agar "pejabat busuk" tidak memegang jabatan publik dalam pemerintahan pasca-Pemilu 2004.
Arah kebijakan pembangunan kelautan nasional lebih bersifat neo-liberal. Setidaknya, saat ini pemerintah lebih mudah mengeluarkan izin bagi kapal asing untuk menangkap ikan di perairan Indonesia ketimbang nelayan tradisional. Pemerintah juga telah menggadaikan data-data potensi sumber daya kelautan ke negara-negara kapitalis, seperti Amerika dan Kanada, yang berkedok membantu penelitian melalui dana utang luar negeri, umpamanya, program COREMAP dan proyek pesisir (Marine Coastal and Management Project). Selain itu, 95 persen pangsa sektor transportasi laut kita dikuasai oleh pihak asing
Pembangunan kelautan akan berhasil jika dikomandoi oleh seorang presiden yang mempunyai visi, komitmen politik, dan platform pembangunan yang jelas dan tidak mengorbankan harkat dan martabat bangsa. Karena itu, Pemilu 2004 merupakan wahana demokratis untuk memilih presiden yang memiliki visi dan platform pembangunan kelautan.