Minggu, 17 Februari 2008

Empat UU Yang Menggerus Masyarakat Pesisir

Empat UU Yang Menggerus Masyarakat Pesisir

Oleh : Muhamad Karim
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) TAZKIYA Bogor/
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Indonesia

Masyarakat pesisir secara geografis bermukin di wilayah pesisir yakni daerah dimana masih dipengaruhi oleh dinamika lautan ke arah darat dan dinamika daratan ke arah lautan. Akibatnya secara sosio-kultural, masyarakat pesisir sangat bergantung terhadap sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir di lautan maupun daratan. Di lautan masyarakat pesisir bergantung pada sumberdaya alam kelautan seperti ikan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Sementara, di daratan masyarakat pesisir bergantung terhadap sumberdaya air, lahan untuk pertanian tanaman pangan, pertambakan, dan permukiman. Dengan demikian kedaulatan masyarakat pesisir adalah kedaulatan atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut. Sayangnya, kedaulatan masyarakat pesisir (coastal community sovereignity) saat mengalami penggebirian akibat munculnya beberapa peraturan perundangan baik di daratan, perairan pesisir maupun perairan lepas pantai (off shore).
Peraturan Perundangan
Terdapat peraturan perundangan yang berlaku di daratan maupun lautan yang ”merampas" kedaulatan masyarakat pesisir. Di daratan, pertama, UU No. 7 Tahun 2004 yang memprivatisasi sumberdaya air di Indonesia. Pasal-pasal kontroversial dalam UU SDA adalah pasal 7, 8 dan 9 yang mengatur Hak Guna Air (HGA) dan boleh dikuasai pemodal asing. Bukankah UU ini menutup akses masyarakat pesisir (petani tambak) untuk mendapatkan “air” guna kegiatan pertambakan udang maupun ikan serta kebutuhan hidup sehari-hari? Tidak hanya itu, kegiatan pertanian di wilayah pesisir yang bergantung pada air semacam pertanian pasang surut akan mengalami kesulitan air karena harus membeli dari pengusaha. Padahal sumberdaya air merupakan barang publik (public goods) yang harus dikuasai dan dilindungi oleh negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak (baca : Pasal 33 UUD 1945).
Kedua, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana pasal 22 memberikan Hal Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun dan Hak pakai 70 atas tanah kepada investor (domestik maupun asing) termasuk di wilayah pesisir. Padahal UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 saja hanya memberikan hak-hak semacam ini maksimal 30 tahun. Akibatnya, lahan-lahan tambak produktif di wilayah pesisir Indonesia yang diperkirakan seluas 500.000 hektar akan dikuasai oleh pemilik modal (kapitalis). Bukankah hal ini merampas hak masyarakat pesisir untuk mengakses sumberdaya tanah/lahan di wilayah pesisir?
Sementara di lautan, pertama, UU Perikanan No. 31 Tahun 2004. Terdapat beberapa pasal kontroversial yang menutup akses masyarakat pesisir yakni (i) pasal 29 ayat 2 yang memberi akses pihak asing menangkap ikan di perairan Indonesia; (ii) pasal 36 tentang persyaratan kelengkapan pendaftaran kapal. Pemberlakukan pasal ini telah memakan korban nelayan tradisional di Kabupaten Biak-Numfor yang ditangkap aparat tanpa alasan yang jelas, dan (ii) pasal 37 tentang ketidakjelasan daerah dan jalur penangkapan ikan. Pasal ini berpotensi menimbulkan tindakan penyerobotan wilayah penangkapan perikanan pantai (artisanal) oleh kapal ikan asing maupun domestik yang modern. Selain itu, potensi konflik antara nelayan tidak akan terhindarkan, kejadian antara nelayan Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan baru-baru ini. Bukankah ketentuan ini mengganggu eksistensi perikanan pantai (artisanal) yang didominasi nelayan tradisional ?
Kedua, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisi dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Adanya pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22 tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) semakin ”memperparah” pencabutan hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumberdaya baik di permukaan laut, badan air maupun di bawah dasar laut. Tidak ada lagi ruang bagi masyarakat pesisir khususnya nelayan, petani ikan, pelaku UKMK kelautan dan buruh nelayan melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir. Semua akses sumberdaya kelautan praktis akan dikuasai pemilik modal. Sebab, hanya merekalah yang mampu memenuhi segala persyaratan yang diatur dalam UU itu. Masyarakat pesisir hanya menjadi ”penonton” karena tidak mempunyai modal besar dan teknologi untuk bersaing dengan para pemilik modal. Hal ini mengakibatkan kemiskinan masyarakat pesisir akan bertambah parah. Bukan hanya itu, sumberdaya kelautan dan perikanan serta lingkungan pesisir juga akan mengalami degradasi akibat eksploitasi yang tak terkendali. Kita tidak pernah belajar dari kegagalan menerapkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) di masa Orde Baru yang akhirnya menghancurkan sumberdaya hutan Indonesia di Kalimantan, Sumatera maupun Sulawesi.
Dampak
Diberlakukannya peraturan perundangan tersebut memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat pesisir yang dominan miskin. Dampaknya, pertama, akses masyarakat pesisir terhadap sumberdaya ekonomi wilayah pesisir seperti sumberdaya ikan, air, lahan, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan mineral di dasar lautan. Sekalipun, UU Perikanan pasal 61 memberi kekebasan pada nelayan kecil dan UU PWP3K pasal 61 mengakui hak-hak masyarakat adat, kearifan lokal, namun hal itu hanya ”retorika” semata. Sejatinya masyarakat miskin pesisir ini tidak mungkin dapat bersaing dengan pemilik modal besar.
Kedua, implementasi keempat UU ini berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) antara pemilik modal dan pejabat berwenang dalam proses perizinan, pengendalian dan pengawasan baik di pusat maupun daerah. Bukan tidak mungkin para pemodal yang telah mengeksploitasi sumberdaya ekonomi wilayah pesisir secara tidak bertanggungjawan akan dengan mudah menghindar dari hukuman akibat berkolusi dengan pejabat berwenang.
Ketiga, sumberdaya ekonomi wilayah pesisir dapat diperjualbelikan (tranferabillity) dan dikuasai sekaligus dikontrol untuk bidang usaha tertentu, sehingga hanya segelintir pemilik modal yang mengelola dan memanfaatkannya. Sangat mustahil hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat miskin di wilayah pesisir.
Keempat, terjadnya eksploitasi berlebihan atas sumberdaya ekonomi wilayah pesisir. Masalahnya, adalah siapa yang menjamin pemilik modal untuk mengontrol eksploitasi sumberdaya ekonomi wilayah pesisir sementara sumberdaya itu sudah kuasai dan kontrol penuh? Apalagi era otonomi daerah yang memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan pemilik modal baik asing maupun domestik.
Kelima, semakin meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran pada masyarakat pesisir akibat terbatasnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi di wilayah ini. Berkembangnya aktivitas usaha ekonomi skala besar berbasiskan sumberdaya ekonomi wilayah pesisir belum tentu akan menggunakan tenaga kerja lokal karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kualitas SDM.
Kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir tidak bisa dirampas begitu saja dengan dalih pengaturan dan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Negara wajib melindungi dan mengakui kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut karena amanat konstitusi. Pemerintah dan DPR wajib melakukan ”judical review” terhadap semua UU di atas karena sumber-sumber ekonomi yang diatur berupa barang publik (public goods) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan sebaliknya, mempertahankan semangat neo-liberalisme yang menunggangi kepentingan asing dibalik semua peraturan perundangan tersebut. Apapun alasannya kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah pesisir harus dikembalikan agar mereka tetap dapat memberdayakan diri dan meningkatkan kesejahteraannya.

Tidak ada komentar: