Minggu, 17 Februari 2008

Menyoal Revitalisasi Perikanan

Menyoal Revitalisasi Perikanan
Oleh : Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Perdaban Maritim

Sudah setahun yang lampau revitalisasi pertanian, perikanan dan kelautan (RPPK) dicanangkan. Tepatnya tanggal 11 Juni tahun 2005 di bendungan Jati Luhur Jawa Barat. Dalam kurun waktu setahun ini perkembangan program ini belum mencerminkan hasil yang menggembirakan. Memang di awal pencanangan gagasan ini sudah banyak pihak yang mengkritisinya, terutama dari kalangan intelektual kampus, pakar perikanan dan kelautan serta kehutanan. Bahkan tidak sedikit dari mereka menganggap RPPK sekadar retorika pemerintah. Dalam artikel ini penulis menyoroti khusus revitalisasi perikanan. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah sektor perikanan selama ini sudah vital dalam pembangunan nasional sehingga mampu mensejahterakan masyarakat terutama nelayan dan petani ikan? Kalau belum menemukan jawabannya berarti apa yang perlu direvitalisasi dalam pembangunan perikanan?
Substansi Revitalisasi
Dalam tiga dasa warsa terakhir sejak kebijakan modernisasi perikanan tahun 1970-an, sektor perikanan belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan nasional. Paling tidak dalam setahun hanya berkontribusi terhadap pendapatan nasional sebesar US$ 2 miliyar. Penulis mencermati bahwa revitalisasi perikanan dimaksudkan untuk menggenjot kontribusi perikanan terhadapa pendapatan nasional melalui pendapatan nasional bukan pajak (PNBP). Sayangnya, revitalisasi perikanan baik dalam tataran konsepsional maupun program aksinya tidak jelas. Hal ini disebabkan indikator keberhasilan revitalisasi perikanan dilihat dari seberapa besar kontribusi institusinya khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) terhadap PNBP. Revitalisasi perikanan harusnya dimaknai sebagai suatu sistem pembangunan yang terintegrasi dengan komponen daratan yaitu pertanian dan kehutanan. Namun yang terjadi adalah revitalisasi perikanan hanyalah penjelmaan modernisasi perikanan tahun 1970-an itu. Substansi revitalisasi perikanan lebih dibumbuhi dengan aransemen bahasa yang baru yang memang sudah berkembang sebelumnya. Di sinilah ketidakjelasan dari kebijakan revitalisasi perikanan.
Hemat penulis revitalisasi perikanan yakni mengembalikan sub sektor perikanan mana yang pernah vital dan berkontribusi signifikan dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Konsep revitalisasi perikanan sekarang ini lebih ke arah pengembangan subsektor baru dalam bidang perikanan seperti budidaya rumput laut, perikanan lepas pantai (ZEE) dan laut dalam (deep sea) dan ekstensifikasi pertambakan udang serta kerapu. Padahal budidaya rumput laut dan kerapu, perikanan lepas pantai serta perikanan laut dalam baru berkembang sejak tahun 2000-an. Terkecuali pertambakan udang memang pernah vital di Indonesia. Namun, revitalisasi untuk tambak udang harusnya melakukan intensifikasi lahan-lahan tambak yang sudah tidak produktif lagi (lahan bera) dengan menggunakan teknologi tambak biocret atau model tambak silvofisheries. Kedua teknologi pertambakan ini tidak perlu lagi membabat hutan mangrove. Malahan tambak silvofisheries dipadukan dengan rehabilitasi mangrove.
Sementara itu, subsektor perikanan tangkap diarahkan untuk mengembangkan perikanan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Problemnya, penangkapan ikan di ZEE kerapkali berhadapan dengan kapal asing yang juga beroperasi di wilayah itu. Kapal asing memiliki teknologi penangkapan dan sumberdaya manusia yang terlatih dalam aktivitas penangkapan. Aktivitas mereka inipun mendapatkan jaminan dari UU Perikanan No. 31 Tahun 2004. Oleh karena itu pemerintah harus mengamandemen dulu UU tersebut, apabila mau mengembangkan perikanan nasional di ZEE. Perikanan ZEE ini masih belum optimal dikembangkan sebagai aktivitas perikanan nasional. Perikanan ZEE selama ini hanyalah bersifat kamuflase karena benderanya menggunakan bendera Indonesia. Akan, tetapi faktanya kapal itu milik asing karena kapal dan anak buah kapal (ABK) berasal dari negara yang mengoperasikannya. Dimana letak vitalnya kalau memang perikanan tangkap menjadi agenda revitalisasi perikanan? Lebih aneh lagi perikanan darat tidak menjadi prioritas dalam revitalisasi perikanan khususnya budidaya kolam dan danau (misal jaring apung). Inilah yang saya maksudkan antara perikanan, pertanian dan kehutanan memiliki keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini bersifat ekosistem karena aktivitas pertanian dan kehutanan pada akhirnya akan menghasilkan limbah dan run off dari lahan-lahan pertanian.
Hemat saya pemerintah harusnya tidak perlu memberikan angin surga revitalisasi terhadap masyarakat perikanan (nelayan, petani ikan dan pelaku industri perikanan). Pemerintah sebaiknya menyusun kebijakan yang jelas tentang pembangunan perikanan. Tidak perlu menggunakan istilah ”revitalisasi”, Gerbang Mina bahari (GMB) atau Revolusi Biru di masa lalu seolah-olah menjadi dewa penyelamat pembangunan perikanan nasional. Cukup menggunakan istilah pembangunan perikanan saja, tetapi substansi dan arah kebijakan serta indikator keberhasilannya jelas.
Keunggulan
Apabila melihat keunggulan sektor perikanan terdapat beberapa indikator yang dapat dijadikan dasar pertimbangan; pertama, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yaitu mengukur efisiensi suatu kegiatan investasi. Makin rendah nilai ICOR, investasi yang dilakukan semakin efisien. Nilai ICOR sektor perikanan berdasarkan tabel input output (I-O) tahun 1995 sebesar 3,42 dan I-O tahun 2000 sebesar 3,31. Nilai ini lebih rendah dari ICOR Indonesia tahun 2003 sebesar 3,6 (Kusumastanto, 2004). Artinya, sektor perikanan cukup efisien dan mempunyai resiko yang relatif kecil untuk berinvestasi. Indeks ICOR ini juga memberi arti bahwa sektor perikanan berpeluang mendapatkan prioritas pengembangan mengingat bidang ini banyak berkaitan dengan masyarakat pesisir yang miskin.
Kedua, daya saing. Analisis daya saing sektor perikanan menggunakan revealed comparative advantage (RCA). Kelemahan analisis ini adalah bersifat statis dan adanya asumsi bahwa setiap negara mengekspor semua komoditi atau kelompok komoditi yang diteliti. Apabilai nilai RCA > 1, kesimpulannya negara tersebut memiliki keunggulan komperatif akan komoditi tersebut di pasar internasional. Hasil analisis PKSPL-IPB dan Bappenas 2005 menyimpulkan (i) nilai RCA yang menempatkan Indonesia dalam peringkat pertama di pasar internasional adalah Tuna fresh or chilled, whole; Crabs, not frozen; Shrimp and prawn frozen, RCA masing-masing 38,9, 28,5 dan 13,6. Kompetitor komoditi Tuna fresh or chilled, whole yaitu Filipina dan Australia. Sementara kompetitior komoditi Crabs, not frozen, adalah Cina dan United Kingdom (UK). Untuk komoditas Shrimp and prawn frozen kompetitornya India dan Thailand; (ii) nilai RCA yang menempatkan Indonesia peringkat kedua adalah Crustacean, RCA sebesar 10,5. Kompetitor Indonesia hanyalah Canada dan India; (iii) nilai RCA yang menempatkan Indonesia peringkat ketiga adalah Crustacean nes, frozen, RCA sebesar 10,4. Negara kompetitornya adalah Denmark dan Irlandia; (iv) nilai RCA yang menempatkan Indonesia peringkat keempat adalah Tuna nes, fresh or chilled, whole; skipjack, stripe-belly bonito, fresh or chilled, whole; dan Eels, fresh or chilled, whole dengan nilai RCA masing-masing 5,6; 0,7; dan 0,00. Komoditas Tuna nes, fresh or chilled, whole; kompetitornya Kroasia dan USA. Sementara komoditas skipjack, stripe-belly bonito, fresh or chilled, whole kompetitornya Turki dan Venezuela, sedangkan komoditas Eels, fresh or chilled, whole kompetitornya Spanyol dan United Kingdom; (v) nilai RCA yang menempatkan Indonesia peringkat kelima adalah Rock lobster and other sea craw fish, not frozen dengan nilai RCA sebesar 2,5. Kompetitornya Afrika Selatan dan Mexiko. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa komoditas perikanan Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di pasar internasional.
Ketiga, daya serap tenaga kerja. Hasil analisis penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa usaha dalam komoditas ikan laut dan hasil laut lainnya, ikan darat dan hasil perairan darat serta perikanan udang mampu menyerap tenaga kerja sebesar 3,37 %. Aktivitas pengolahan ikan kering dan asin serta ikan olahan dan awetan menyerap tenaga kerja sebesar 0,83 %. Hal ini apabila dilihat dari daya serap tenaga kerja sektor pertanian. Sementara, dilihat dari daya serap total tenaga kerja nasional aktivitas perikanan laut dan hasil laut lainnya, perikanan darat dan hasil perairan darat serta perikanan udang menyediakan lapangan pekerjaan sebesar 1,48 %. Sementara, aktivitas pengolahan ikan kering dan asin serta ikan olahan dan awetan menyediakan lapangan kerja sebesar 0,36 %.
Dari pertimbangan tersebut mencerminkan sektor perikanan memiliki keunggulan dalam efisiensi investasi, daya saing di pasar internasional dan penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian tanpa harus menggunakan idiom “revitalisasi” sektor perikanan sudah memiliki keunggulan dalam pembangunan ekonomi nasional. Persoalannya sekarang maukah pemerintah memberikan komitment politik guna mendorong perikanan sebagai kekuatan baru (new strength) dalam menggerakan sektor riil di Indonesia?
Pembangunan perikanan nasional tanpa revitalisasi pun akan berjalan baik dan berkontribusi terhadap pembangunan nasional asalkan kita mampu menyusun kebijakan perikanan, strategi, disertai action plan yang jelas dan kongkrit. Bukan sekadar retorika politik pemerintah untuk menunjukkan kepada rakyat seolah-olah sudah “berbuat” serius untuk bangsa ke depan. Tentunya kesemuanya itu akan berjalan optimal apabila mendapatkan juga dukungan politik dari legislative, reformasi kelembagaan peraturan perundingan (UU Perikanan, kebijakan perizinan, dll) yang tidak merugikan rakyat pesisir serta adanya reformasi birokrasi yang menghapus kejahatan birokrasi (bureaucratic crime) di semua level kekuasaan pusat maupun daerah. Semoga !

Tidak ada komentar: