Rabu, 20 Februari 2008

Memperjelas Property Right Pulau-Pulau kecil

MEMPERJELAS PROPERTY RIGHT PULAU-PULAU KECIL

Oleh : Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan pengelolaan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil perbatasan di Kabupaten Kepulauan Natuna, Provinsi Riau Kepulauan. Pencanangan ini merupakan manifestasi dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan (P2KP). Pencanangan ini menandai begitu pentingnya pulau-pulau kecil (PPK) dari aspek geo-politik, geo-strategi maupun ekonomi. Kelalaian bangsa Indonesia di masa lalu dalam mengelola dan memberi perhatian terhadap PPK berimbas pada kekalahan Indonesia dalam forum Mahkamah Internasional dalam kasus Sipadan-Ligitan. Problem utama yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah saat ini adalah kejelasan status hak kepemilikan (property right) terhadap PPK.
Hak Kepemilik
Secara umum pulau kecil adalah sebuah daratan yang dikelilingi oleh lautan yang luasnya tidak lebih dari 10.000 m2. Di wilayah Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 2000 buah PPl baik yang terletak dalam wilayah laut Nusantara maupun perbatasan maritime dengan Negara tetangga. Pulau-pulau tersebut ada yang berpenghuni dan tidak berpenghuni. Baik yang berpenghuni maupun tidak sebuah pulau kecil ada yang memilikinya baik secara individu, komunal berbentuk kepemilikan adat, atau tidak dimiliki siapapun. Sampai kini hak kepemilikan (property right) PPK belum ada pengaturannnya. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pun tidak mengaturnya. Kini hak kepemilikan atas PPK harus diperjelas. Hal ini penting karena jangan sampai persoalan hak kepemilikan ini akan menimbulkan konflik antar individu dengan individu, antar komunitas masyarakat, maupun masyarakat dengan Negara. Konflik pertanahan yang terjadi di daratan jangan sampai berulang dalam kasus PPK.
Apabila mencermati hak kepemilikan PPK di Indonesia saat ini, maka kita dapat mengelompokkan dalam empat bentuk yaitu, pertama, kepemilikan individu (individual/private property right). Bentuk kepemilikan ini dapat ditemukan pada PPK di Kepulauan Seribu, Taman Nasional Wakatobi dan pulau Komodo yang sudah berkembang menjadi daerah wisata.
Kedua, kepemilikan adat (communal property right). Bentuk kepemilikan seperti ini adalah PPK yang merupakan hak milik adat secara komunal yang sudah terjadi secara turun temurun.. Pulau Batanta di Kabupaten Kepulauan Raja Ampat yang juga daerah konservasi dan mengandung emas seluruhnya wilayahnya merupakan hak adat berbentuk ulayat. Sekalipun pulau tersebut didiami berbagai etnik dari berbagai komunitas masyarakat, namun hak-hak adat atas pulau tersebut tetap diakui dan dihormati eksistensinya.
Ketiga, kepemilikan Negara (state property right). Secara obyektif, semua pulau yang ada dalam wilayah NKRI berada dalam hak dan kewenangan Negara. Namun persoalannya adalah Negara belum memberikan instrumen hukum berupa peraturan perundangan yang mengatur hak kepemilikan PPK. Gugusan pulau-pulau Banyak di Kabupaten Nias, PPK di Kabupaten Natuna dan PPK perbatasan menjadi bukti otentik.
Keempat, tanpa hak kepemilikan (non-property right/open acces). Bentuk property right semacam ini terdapat pada PPK yang termasuk batas terluar dari NKRI atau perbatasan maritime dengan Negara tetangga yang tidak berpenghuni. Secara de facto pulau seperti ini sebenarnya menjadi milik Negara (state property right). Namun, secara de jure tidak ada landasan hukum yang memayunginya, sehingga siapapun dapat saja mengelola atau memanfaatkannya (open acces). Masyarakat dapat mengakses sumberdaya daratan maupun lautan yang berada di pulau-pulau tersebut. Bahkan, pulau-pulau tersebut menjadi tempat persinggahan sementara (transit) nelayan yang mencari ikan ke perairan yang lebih jauh atau nelayan asing yang mencuri ikan di Indonesia.
Adanya rencana pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan reforma agraria melalui pembagian lahan kepada masyarakat otomatis akan berimplikasi pada PPK. Pasalnya, UUPA belum mengatur hak kepemilikan lahan di PPK. Sebagai ilustrifikasi, apabila di daratan seseorang memiliki lahan seluas 2 hektar, maka batas-batas kepemilikan atas tanah/lahan tersebut sudah jelas yang kemudian dijustifikasi dengan setifikat tanah. Berbeda hal dengan PPK. Seseorang atau komunitas adat yang memiliki hak atas sebuah pulau kecil seluas 2 hektar misalnya. Apakah dia menguasai hanya sebatas lahan di pulau kecil itu sampai batas garis pantainya? Ataukah, menguasai juga sumberdaya yang ada di sekitar pulau kecil tersebut, umpamanya terumbu karang, lamun, mangrove atau pantai berpasir? Kejelasan hak kepemilikan seperti ini akan memberikan kepastian hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan PPK. Apalagi perhatian pemerintah terhadap PPK menjadi salah satu agenda pemerintah saat ini.
Mekanisme Hukum dan Kelembagaan
Kebijakan pemerintah mengeluarkan Perpres No. 78 Tahun 2005 yang mengatur pengelolaan PPK perbatasan patut mendapatkan apreasiasi yang positif. Artinya pemerintah sudah mencoba memberikan payung hukum yang mendasari pengelolaan dan pemanfaatan PPK. Sayangnya, Perpres tersebut selain bersifat parsial karena khusus untuk PPK perbatasan, namun konstrain batasan kewenangannya hanya seputar pengelolaan tata ruang PPK. Itupun tidak dijelaskan dalam Perpres tersebut, apakah mendasarkan pada tata ruang Kabupaten/Kota, provinsi atau tata ruang nasional?
Guna memperjelas status kepemilikan dan hak atas PPK di Indonesia, pemerintah harus mempersiapkan beberapa mekanisme hukum dan kelembagaan yang mengaturnya yaitu; pertama, dalam mengamandemen UUPA, pemerintah bersama DPR perlu memasukan pengaturan status hak dan kepemilikan (property right) PPK. Pengaturan ini termasuk menyangkut hak dan kepemilikan pribadi, komunal (termasuk masyarakat) adat), Negara maupun yang tidak terbuka untuk diakses/dimiliki oleh siapa pun.
Kedua, khusus PPK perbatasan dengan Negara tetangga pemerintah seyogyanya menetapkan sebuah aturan main tersendiri dan mekanisme kelembagaan khusus karena keberadaan PPK perbatasan memilki nilai politis dan strategis. Keberadaan Perpres 78 Tahun 2005 tidak cukup representatif. Di samping ruang lingkupnya memang bersifat terbatas, parsial dan tidak terintegrasi. Perpres itu juga sulit diterjemahkan pada tataran implementasi. Buktinya, hampir semua institusi pemerintah (departemen) teknis memprogramkan tentang pengelolaan dan pemanfaatan PPK perbatasan. Namun faktanya, program yang dikembangkan tidak memilki keterkaitan antar satu institusi dengan institusi lainnya. Kalaupun ada program yang dikembangkan bersifat duplikatif baik pada tataran konsepsional maupun implementatif. Dampaknya, alokasi anggaran dari APBN maupun berbentuk utang luar negeri yang dialokasikan pada setiap instansi pemerintah menjadi mubazir. Mengapa pemerintah tidak membuat mekanisme kelembagaan tersendiri misalnya Badan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan (BP3KP) yang mampu mengkordinasikan setiap program yang dikembangkan instansi pemerintah sehingga tidak terjadi duplikasi, dan ego-sektoral yang langsung di bawah komando Presiden RI di level pusat dan Bupati/Wali Kota serta Gubernur di level provinsi? Mungkin semacam Badan Pengelola Dampak Lingkungan (Bappedal) di level pusat maupun daerah. Mungkinkah hal ini dapat berjalan? Semuanya itu tergantung dari kemauan politik dan kepedulian kita terhadap nilai strategi sebuah pulau kecil di wilayah perairan territorial maupun perbatasan maritim.
Ketiga, pemerintah perlu menyusun blue print pembangunan PPK yang diwujudkan dalam bentuk sebuah kebijakan komprehensif dan terintegrasi. Kebijakan ini langsung dikendlikan oleh Presiden RI. Kita perlu bercermin pada pemerintahan Australia yakni Perdana Menteri Australis, Jhon Howard, melegitimasi dan memberikan dukungan penuh dalam pengembangan blue print pengelolaan estuaria dan Kebijakan Kelautan Australia (Australia Ocean Policy) yang diperkuat oleh instrumen hukum dan kelembagaan yang jelas. Mengapa kita Indonesia yang menganggap PPK begitu strategis tidak melakukan hal serupa ?
Kepentingan mengelola dan memanfaatkan PPK tidak sekadar kepentingan ekonomi semata yang berwujud pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, mempersempit jurang kesenjangan pembangunan dan keterisolasian daerah. Melainkan memiliki muatan kepentingan politik dan keamanan yang berujung pada eksistensi NKRI.

1 komentar:

Auhadillah mengatakan...

makalah Bapak Karim sungguh sangat menarik. Mungkin perlu juga dikaji tentang dampak dari pelaksanaan property right bagi keberlanjutan ekosistem dan lingkungan PPK. Apalagi setelah berlakunya UU Pengelolaan wilayah pesisir dan laut No. 27 Tahun 2007 khususnya pasal tentang HP3 tentu akan semakin menambah menarik studi tentang PR ini. Apakah ada tulisan tentang HP 3 pak ?