Rabu, 20 Februari 2008

Kawasan EKonomi Khusus Maritim

KAWASAN EKONOMI KHUSUS MARITIM

Oleh : Muhamad Karim
Direktur Center for Ocean Development and Maritime Civilization Studies

Beberapa waktu yang lalu pemerintah Indonesia telah menetapkan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang mencakup Karimun, Bintan da Kota Batam. Ketiga daerah ini berupa pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Pengembangan kawasan ini pada dasarnya merupakan akselerasi dari pulau Batam yang memang sudah berkembang sejak berstatus sebagai daerah otorita. Penetapan sebagai KEK hanya ingin mengukuhkan dan memperluas kawasan yang dulunya hanya terkonsentrasi di Pulau Batam. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak mengembangkan gagasan ini di wilayah lain yang memiliki basis ekonomi yang khas, misalnya kelautan dan perikanan (LATKAN)? Mungkinkah model KEK ini dapat dikembangkan di wilayah perbatasan seperti Miangas, di Sulawesi Utara atau Pulau Sebatik di daerah Nunukan, Kalimantan Timur?
Kawasan Potensial
Pemerintah mengembangkan KEK di Karimun, Bintan dan Kota Batam berberbasiskan industri dan manufaktur. Pemerintah juga akan lebih baik mengembangkan daerah-daerah lain yang berpotensi untuk KEK berbasiskan sumberdaya kelautan dan perikanan. Kita menamakannya sebagai kawasan ekonomi khusus aritime (KEKTIM). Beberapa yang potensial adalah pulau Miangas yang berbatasan dengan General Santos, Filipina yang merupakan daerah industri perikanan terbesar di Asia Tenggara, pulau Sebatik yang berbatasan dengan Malaysia dan pulau Natuna yang dulunya sudah ditetapkan sebagai kawasan pengembanan ekonomi terpadu (KAPET). Sayangnya, KAPET tidak berkelanjutan dan sampai kini tidak ada lagi beritanya. Hemat penulis KEKTIM ini berorientasi dan berbasiskan pada kekuatan sumberdaya alam kelautan dan perikanan yang potensial seperti perikanan tangkap, industri perikanan, bioteknologi kelautan, budidaya laut (marine culture) perkapalan, dan pariwisata bahari. Pola pengembangannya dapat saja menduplikasi model kelembagaan otorita Batam yang lebih memfokuskan pada industri manufaktur, automotif, elektronk dan yang terbaru perkapalan. Sementara untuk KEKTIM mengembangkan model kelembagaan otorita yang lebih terkonsentrasi pada sumberdaya kelautan dan perikanan yang terpadu baik hulu maupun hilir. Pementah tidak usah lagi memberikan izin kapal-kapal asing menangkap ikan di perairan Indonesia. Melainkan, pemerintah akan lebih tepat mengajak mereka untuk berinvestadi dalam bidang kelautan dan perikanan. Pemerintah tinggal menyiapkan paket kebijakan, aspek hukum dan kelembagaan yang mendukung investor dalam berinvestasi di daerah – daerah menjadi KEKTIM.
Dukungan Pemerintah
Pengembangan KEKTIM sudah barang tentu membutuhkan dukungan pemerintah dari berbagai aspek. Hal ini penting karena daerah seperti pulau-pulau perbatasan dengan tetangga dihadapkan pada problem structural yaitu kesenjangan pembangunan, kemiskinan dan kerusakan lingkungan serta sumbedaya alam. Secara rinci problem tersebut antara lain (i) kesenjangan pembangunan dengan Negara tetangga (ii) kemiskinan masyarakat (iii) keterbatasan akses permodalan dan pasar bagi masyarakat, (iv) kebijakan fiscal dan moneter yang kurang kondusif (v) keterisolasian dan mobilitas penduduk akibat keterbatasan akses transportasi (vi) lemahnya penegakan hukum dan (vii) problem degradasi sumberdaya alam. Agar problem tersebut tidak menjadi kendala dalam pengembangan KEKTIM pemerintah perlu membrikan dukungan antara lain, pertama, membangun infrastruktur strategis yang mendukung KEKTIM seperti pembangunan pelabuhan, jalan dan jembatan, cold storage dan pasar.
Kedua, memperlancar akses armada transportasi laut seperti pelayaran perintis maupun kapal Pelayaran Nasional (PELNI) dua kali seminggu.
Ketiga, memperjelas status lahan di pulau-pulau kecil tersebut karena lahan-lahan tersebut akan mejadi lokasi untuk membangun infrastruktur pelabuhan, pengembangan akses jalan, industri pengolahan ikan, perkapalan, industri bioteknologi kelautan, perhotelan, pasar atau cottage.
Keempat, memperjelas kebijakan fiscal dan moneter. Umpamanya dalam bidang fiskal memberikan tax holiday, pajak bebas bea masuk barang dan jasa. Sementara bidang moneter memberlakukan kebijakan membolehkan menggunakan dua mata uang yaitu rupiah dan mata uang Negara tetangga.
Kelima, memberikan dukungan aspek hukum dan kelembagaan yang akan mengelola KEKTIM. Umpamanya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden tentang KEKTIM di Indonesia. Sementara, aspek kelembagaannya adalah membentuk badan pengelola model otorita Batam dahulu yang langsung diketuai Presiden RI dengan Ketua Hariannya instansi terkait. Akan lebih baik, apabila Ketua Hariannya adalah orang/pejabat Negara yang memiliki akses kuat secara internasional dan posisi tawar politik tinggi di tingkat nasional. Di leel implementasi dukungan kebijakan yang paling urgen adalah menyusun instrumen pendukungnya berupa “Master Plan” dari KEKTIM.
Keenam, ggasan KEKTIM ini tidak bermakna sama sekali bahkan mandek apabila tidak mendapatkan dukungan politik dari DPR maupun Presiden RI sendiri. Dukungan politik tersebut tidak sebatas melakukan upacara seremonial model Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) atau pembentukan tim koordinasi pengelolaan pulau-pulau perbatasan. Melainkan lebih dari itu seperti aspek hukum, pembiayaan dalam APBN, dan keseriusan pemerintah dalam artian bukan sekedar retorika.
Ketujuh, antisipasi dampak social yang dulunya kurang terakomodir dalam kasus pengembangan pulau Batam. Munculnya KEKTIM ini jangan sampai menjadi lahan baru berkembangnya bisnis obat terlarang, prostitusi, perjudian serta jaringan penyelundupan barang.
Kedelapan, dukungan pertahanan dan keamanan. Pentingnya pertahanan dan keamanan bukan berarti melibatkan mereka dalam dunia bisnis. Akan tetapi, keterlibatan mereka sebagai pihak yang memperkuat eksistensi NKRI dan konteks geo-politik, geo-strategis maupun geo-ekonomi. Mengingat keterlibatan pihak-pihak asing dalam dunia bisnis dan investasi membutuhkan kenyamanan dan resiko yang rendah (low country risk). Kesemua dukungan yang diuraikan ini penting sekali untuk menunjukan keseriusan dan menjadi “insentif” bagi kalangan investor asing maupun domestik.
Dampak
Mengembangkan KEKTIM di daerah perbatasan maritim akan berdampak pada, pertama, terjadinya pemanfaatan sumberdaya kelautan danm perikanan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam kurun waktu tahun 1999-2006 sejak pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Dewan Maritim Indonesia (DMI), RPPK, belum ada output yang riil tentang pembangunan kelautan dan perikanan. Semuanya jalan di tempat. Setidaknya dengan gagasan ini dalam kurun waktu lima tahun pemerintahan dengan mengembangkan satu kawasan saja, -- umpamanya pulau Miangas — output nya akan kelihatan.
Kedua, terjadinya pemerataan pembangunan. Kesenjangan pembangunan, kawasan maupun sektoral antara wilayak perbatasan dengan wilayah lain di Indonesia akan semakin berkurang.
Ketiga, terciptanya lapangan kerja baru. Berkembangnya investasi akan berimpliksi pada meningkatkan permintaan tenaga kerja. Implikasinya mobilitas manusia dari daerah-daerah yang padat penduduknya padat dan banyak pengangguran akan semakin tinggi.
Keempat, terciptanya multiplier effect secara ekonomi karena akan berkembang pulau sektor-sektor ekonomi non-formal, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan jasa. Umpamanya, sektor informal seperti warung makan, perbengkelan, restoran, guide untuk pariwisata, salon, angkutan umum dan masih banyak lagi lainnya.
Kelima, secara geo-politik dan geo-strategis kita bangsa Indonesia telah memosisikan kawasan perbatasan maritime sebagai “halaman depan” dari NKRI. Hal ini akan berimplikasi terhadap munculnya perubahan paradigma pembangunan bangsa dari orientasi kontinental menjadi maritim dengan “main set” awalnya adalah kawasan ekonomi khusus maritim (KEKTIM). Semoga!

Tidak ada komentar: