Minggu, 17 Februari 2008

MEMBERANTAS PENCURIAN IKAN

MEMBERANTAS PENCURIAN IKAN
Oleh : Muhamad Karim

Sampai kini problem illegal fishing di perairan Indonesia sulit diberantas, sekalipun pemerintah sudah menyediakan anggaran pengawasan sebesar Rp 271 miliar tahun 2008. Terbukti, baru-baru ini di perairan Tual Maluku Tenggara aparat keamanan kembali menangkap 7 kapal ikan Thailand di perairan tersebut. Kondisi ini mengkhawatirkan bagi dunia perikanan Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan UU Perikanan No 31 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri (Permen) No 17 Tahun 2006 yang mengatur ketentuan mata jaring alat tangkap di perairan Indonesia. Akan tetapi aktivitas illegal fishing tetap saja berlangsung. Ada apa dibalik semua itu?
Penyebab
Aktivitas illegal fishing di perairan Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Akibatnya sembilan daerah wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia yaitu perairan Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi sampai Samudera Pasifik, Laut Arafura, dan Samudera Hindia, mengalami tingkat penangkapan lebih (over exploitation). Terkecuali, di perairan Samudera Hindia, dan Laut Sulawesi sampai Samudera Pasifik. Sampai kini daerah yang masih marak illegal fishing-nya adalah Laut Arafura, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi, perairan Selat Malaka, dan Samudera Hindia. Apabila dicermati penyebabnya, pertama, perizinan yang tidak beres. Illegal fishing terjadi karena(i) pemalsuan perizinan, (ii) duplikasi perizinan dan (iii) tanpa adanya perizinan.
Kedua, konspirasi bisnis tingkat tinggi antara pengusaha domestik, pegusaha kapal asing, birokrasi dan oknum-oknum yang dekat elit penguasa. Mereka mempunyai kekuatan akses politik dan jaringan “kekuasaan” yang sulit disentuh aparat keamanan sekalipun. Konon kabarnya, beberapa kapal asing yang menangkap ikan ilegal di perairan Indonesia dibebaskan begitu saja akibat campur tangan dari oknum tersebut. Umumnya, mereka mem-becking pelaku illegal fishing apabila tertangkap dan memperlancar proses pengeluaran izin. Dalam kepustakaan ekonomi politik disebut sebagai “komprador”.
Ketiga, tumpang tindih kewenangan dalam mengeluarkan izin usaha penangkapan. Pemerintah daerah kabupaten/kota mengeluarkan izin untuk ukuran kapal penangkap ikan < 10 GT, pemerintah provinsi 10-30 GT dan pemerintah pusat > 30 GT. Menjadi problem ketika kapal >30 GT beroperasi di perairan yang wilayahnya kepulauan atau pulau. Umpamanya, pulau Nias, Natuna, Banda, Sebatik dan Mentawai. Apabila pemerintah daerah kabupaten/provinsi komplain terhadap kapal-kapal tersebut pemilik kapal dengan mudah mengelak karena izinnya dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Akibatnya, pemerintah daerah tidak bisa berbuat apa-apa.
Keempat, ketidakjelasan data jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch, TAC). Sebabnya, (i) data yang digunakan selama ini kurang valid yakni data produksi dan jenis tangkapan yang diambil dari sentral-sentral pendaratan ikan. Padahal, data-data itu sebagian besar tidak dilaporkan dan di daratkan di pelabuhan perikanan terdekat, (ii) metode perhitungan yang digunakan masih menggunakan Maximum Sustainable Yield (MSY) yang tidak cocok diterapkan pada perairan tropis karena keragaman spesies tinggi dan kelimpahan rendah. Akan lebih valid menggunakan metode kelimpahan jenis (diversity) ketimbang MSY sehingga dapat menghitung nilai TAC termasuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Kelima, lemahnya “posisi tawar politik” Indonesia dalam organisasi-organisasi perikanan internasional yakni Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) yang mengatur penangkapan tuna di Samudera Pasifik, Convention on the Conservation of Southen Bluefin Tuna (CCSBT) yang mengatur penangkapan tuna sirip biru di Samudera Pasifik dan Hindia, Multi High Level Conference on the Conservation of Higly Migratory Fish Stock in the Western and Central Pasific Ocean (MHLC) yakni organisasi perikanan regional di Samudera Pasifik bagian barat dan Tengah serta Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Sekalipun Indonesia kerapkali berpartisipasi dalam organisasi-organisasi itu, tetap saja tidak mampu ”mempersoalkan” ekspor ikan dari Thailand, Cina, Filipina dan Korea di pasar internasional (Uni Eropa dan Jepang). Padahal jelas-jelas negara-negara itu mencuri ikan di perairan Indonesia. Justru sebaliknya, ekspor udang dan ikan Indonesia mengalami embargo di pasar internasional.
Keenam, aturan main berkaitan dengan perikanan masih bermasalah. UU Perikanan pasal 29 ayat 1 dan 2 masih memberi celah pada kapal asing untuk menangkap ikan di perairan Indonesia (baca : UU Perikanan). Indonesia juga belum menentukan titik-titik batas perairan (ZEEI) yang harus didepositkan pada sekretariat Jenderal PBB paling lambat akhir 2009. Jika pemerintah mengabaikannya, perairan ZEEI menjadi ”perairan internasional” dan nelayan Indonesia dianggap ilegal menangkap ikan di perairan itu termasuk hasil tangkapannya.
Solusi
Solusi pemberantasan illegal fishing di perairan Indonesia yakni pertama, memperketat masalah pengeluaran izin tanpa diskriminatif dan biaya siluman. Umpamanya, nelayan tradisional dipersulit karena ”biaya silumannya” tidak ada. Sementara pengusaha domestik yang modern atau kapal asing dipermudah karena biaya silumannya lancar.
Kedua, menindak tegas dan mempercepat proses hukum pelaku illegal fishing melalui pengadilan ad hoc perikanan yang telah ada di lima wilayah yakni Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual. Sehingga, tidak ada lagi alasan pembebasan pelaku illegal fishing karena penyakit HIV.
Ketiga, Mahkamah Agung perlu melakukan pendidikan khusus bagi hakim-hakim yang akan mengadili perkara dalam bidang perikanan. Hal ini penting karena pengadilan perikanan merupakan hal baru dalam dunia hukum Indonesia
Keempat, pemerintah melalui DKP perlu menghitung ulang data potensi sumberdaya perikanan nasional dengan menggunakan metode yang tepat. Akan lebih baik hal ini dilakukan pada setiap WPP dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu pemerintah dan DPR perlu membahas dan mengalokasikan dana yang cukup dan rasional. Oleh karena kegiatan ini membutuhkan dana yang besar dan alokasi waktu yang lama karena harus menyampling sembilan WPP dengan beberapa kali ulangan. Selain itu, pemerintah juga perlu menindak tegas pengusaha perikanan (domestik maupun asing) yang selama ini tidak melaporkan data tangkapannya secara benar (unreported). Hal ini penting untuk memperkuat validitas perhitungan data potensi perikanan Indonesia.
Kelima, memperkuat posisi tawar politik Indonesia di lembaga-lembaga perikanan internasional sehingga tidak sekadar partisipan. Melainkan menduduki posisi strategis yang mampu mempengaruhi pengambilan keputusan tertinggi dan strategis dalam organisasi itu.
Keenam, mengamandemen dan meratifikasi (i) beberapa pasal UU perikanan No 31 Tahun 2004 yang memberi celah bagi beroperasinya kapal asing, (ii) pemerintah Indonesia secepatnya menetapkan dan mendepositkan titik-titik batas ZEEI ke Sekjen PBB, dan (iii) meratifikasi UN Fish Stock Agreement 1995 yang mengikat para pihak dalam konservasi dan jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh dan terbatas yang mendukung pemberantasan illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing oleh kapal asing dalam bentuk peraturan/perundangan khusus. Kesemua solusi ini setidaknya dapat mencegah dan memberantas illegal fishing di perairan Indonesia.

Tidak ada komentar: