Minggu, 17 Februari 2008

Politik Membangun Keterpurukan Nelayan

Politik Membangun Keterpurukan Nelayan

Oleh : Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/Dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) TAZKIA, Bogor

Selama medio awal 2008, semua koran nasional memberitakan keterpurukan nelayan di Cirebon, Indaramayu, Bengkulu, Aceh, Banjarmasin dan NTT. Penyebabnya, gelombang laut tinggi, angin kencang dan harga BBM melambung. Praktis mereka berhenti melaut.. Ada yang nekat beroperasi, tapi hasilnya merosot tajam. Jadilah mereka pengangguran. Beberapa beralih profesi sebagai buruh tani dan bangunan. Tapi, semua itu tidak menolong. Harga kebutuhan pokok melambung, biaya kesehatan dan pendidikan anak – anaknya mahal belum juga teratasi. Jalan satu-satunya mengutang pada rentenir/juragan. Mengapa semua ini terjadi? Apakah tidak ada jalan lain buat menyelematkan mereka?
Keterpurukan
Keterpurukan nelayan Indonesia tidak selamanya karena faktor alam. Ada unsur ekonomi - politik menyertainya. Pertama, keluarnya UU Perikanan No 31 Tahun 2004 dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) Tahun No 27 Tahun 2007 merugikan nelayan secara politik. Keduanya memberi celah pihak asing beroperasi di perairan dan menguasai wilayah pesisir Indonesia. Keduanya juga tidak membela kepentingan nelayan.
Kedua, selamam ini nelayan tidak mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya. Kapal ikan asing dan domestik modern bebas menyerobot wilayah tangkap perikanan tradisional. Mereka merusak fishing ground ikan karena menggunakan alat tangkap destruktif trawl, racun sianida dan bahan peledak. Akibatnya, hasil tangkapan menurun dratis.
Ketiga, negara ”gagal” melindungi dan mengakui hak-hak nelayan atas sumberdaya wilayah pesisir. Pasal 16-22 UU PWP3K menutup semunya dengan memberlakukan Hak Pengelolan Perairan Pesisir (HP3). Mungkinkah nelayan miskin mampu mendapatkan HP3? Bukankah aturan ini menguntungkan asing dan pemodal besar? Sebuah kebijakan ”konyol” yang menindas.
Keempat, politik konservasi berkedok warisan dunia (world heritage) telah mengorbankan kedaulatan dan akses nelayan atas sumberdaya ikan. Umpamanya, daerah perlindungan laut (Marine protected area) yang melarang nelayan menangkap ikan di wilayah itu. Tidak hanya itu, di pulau Komodo mereka ditembakin. Mengapa negara kerap menumbalkan nelayan sebagai perusak sumberdaya ikan? Mengapa kapal asing dan pengusaha besar menguras ikan di perairan Arafura, Laut Sulawesi, Laut Cina Selatan dan Pantai Selatan Jawa menggunakan trawl luput dari perhatian? Bukannya anti konservasi. Tapi, jangan satu pihak dikorbankan, sementara pihak lain diuntungkan. Mengapa kita tidak merevitalisasi dan menghidupkan politik konservasi berbasis kearifan lokal ala masyarakat pesisir Indonesia?
Kelima politik anggaran APBN/APBD dan moneter kurang mencerminkan sektor riil perikanan tradisional. Otoritas moneter cenderung alergi mengucurkan kredit lunak buat nelayan, karena tanpa jaminan. Wajar saja nelayan mengalami ketergantungan modal pada rentenir/juragan.
Keenam, politik IPTEK nasional juga kurang berpihak pada sektor riil perikanan tradisional. Nelayan sulit sekali mengakses teknologi tepatguna. Selain memang modal terbatas, affirmative policy-nya hampir nihil.
Ketujuh, kenaikan BBM lebih dari 100% awal Tahun 2007 memperparah keterpurukan nelayan. Usulan subsidi BBM bagi nelayan ditolak Wakil Presiden, Yusuf Kalla. Mengapa petani mendapatkan subsidi sementara nelayan tidak? Inilah unsur-unsur ekonomi politik yang meminggirkan nelayan di negeri ini.
Kebijakan Politik
Membangun komunitas nelayan tidak sekadar ekonomi an sick. Terdapat kebijakan politik nasional maupun regional menyertainya. Pertama, adanya kebijakan negara memberikan hak akses (acces right) dan mengelola daerah perikanan tradisional sejauh 4 mil laut bagi nelayan. Ia juga wajib melindunginya secara hukum dari serbuan kapal asing dan pemodal besar, karena adanya fishing ground ikan, pengelolaan adat dan dan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove. Bagi petambak melalui reforma agraria di pesisir (land coastal reform). Rencana pemerintah SBY-JK akan membagi-bagikan lahan 5 juta ha pada petani tahun 2008, semestinya berlaku pula bagi petambak di pesisir? Kedua, merevitalisasi dan menghidupkan model-model konservasi berbasis hukum adat dan kearifan lokal, seperti Sasi di Maluku, Mane’e di Minahasa, dan Gamson di Papua. .
Ketiga, politik anggaran (APBN/APBD) dan moneter lebih mencerminkan sektor riil perikanan tradisional, terutama. daerah-daerah berbasis kepulauan. Politik anggaran berupa alokasi APBN/APBD untuk membangun infrastruktur (pasar alternatif nelayan, pelabuhan perikanan dan pengadaan armada nelayan tradisonal). Politik moneter berupa kerdit lunak bagi nelayan berbentuk syariah maupun konversional. Politik ini perlu mendapat dukungan kelembagaan yakni lembaga keuangan mikro (LKM) maupun BMT, penjaminan pemerintah daerah, pendampingan, serta manajemen keuangan dan organisasi. .
Keempat, affirmative policy dalam aspek teknologi berorientasi sektor riil perikanan tradisional. Teknologi ini akan mendiversifikasi dan menambah milai tambah produk perikanan. Umpamanya, teknologi pengolahan tepung ikan.
Kelima, adanya subsidi BBM bagi nelayan tradisional. Kita perlu mencontoh pemerintah Bolivia dan Venezuela mengalokasikan 10 % pendapatan minyak bumi dan gas (MIGAS)-nya guna mensubsidi petani, nelayan serta pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Mengapa kita tidak melakukan hal serupa? Bukankah kita negara juga penghasil MIGAS? Dengan kebijakan-kebijakan politik, setidaknya mampu membangun kedaulatan, harkat dan martabat serta membangkitkan nelayan dari keterpurukan.

Tidak ada komentar: