Minggu, 17 Februari 2008

Platform Pembangunan Kelautan

Platform Pembangunan Kelautan
Oleh: Muhamad Karim
Direktur Center for Ocean Development and Maritime Civilization Studies (COMMITS)

PEMILIHAN Umum 2004 sebentar lagi dilaksanakan. Namun, yang paling ramai adalah pemilihan Presiden RI secara langsung. Kini para calon presiden sudah bermunculan. Dalam Pemilu 2004, setiap capres mengampanyekan platform pembangunan masing-masing. Sayang, para calon presiden (capres) yang sudah beredar di media massa tak seorang pun memiliki platform pembangunan kelautan. Kalaupun ada, masih bersifat parsial dan sektoral. Sebuah ironi bagi negara maritim di mana tiga per empat wilayahnya (5,8 juta kilometer persegi) adalah lautan.

Keharusan

Kontribusi sektor kelautan dari tujuh sektor strategis adalah transportasi laut, perikanan laut dan payau, industri kelautan (marine industry), pariwisata bahari, bangunan kelautan, pertambangan lepas pantai, dan jasa kelautan dalam produk domestik bruto nasional tahun 1998 mencapai 20,06 persen. Angka ini cukup signifikan ketimbang pertanian 12,62 persen, pertambangan dan penggalian 4,21 persen, industri manufaktur 19,92 persen, dan jasa 41,12 persen.
Realitas ini mengharuskan para capres mengampanyekan platform pembangunan kelautan. Namun, faktanya, para capres yang beredar saat ini belum menyentuh sama sekali sektor kelautan. Hal ini dikarenakan kesalahkaprahan memahami pembangunan kelautan. Pembangunan kelautan hanya dianggap sebagai perikanan an sich. Jadi, di masyarakat, yang populer tentang pembangunan kelautan hanya kebijakan modernisasi perikanan tangkap dan industri penambakan udang. Sebuah kekeliruan fatal dalam memahami pembangunan kelautan. Selain itu, para capres masih terkooptasi slogan pembangunan ekonomi nasional warisan Orde Baru yang memosisikan Indonesia sebagai negara agraris.
Para capres seakan terlupa, Indonesia adalah negara kepulauan (archipelago state) yang dikelilingi lautan. Jarang sekali di dunia ini ada negara yang terletak pada pertemuan dua lautan besar seperti Indonesia, yakni Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Keunggulannya, pertama, dari kaca mata keilmuan biologi laut dan oseanografi, pertemuan dua arus lautan besar dengan massa air berbeda kerap mengandung bahan nutrien yang tinggi, subur akan plankton, dan kaya sumber daya ikan.

Kedua, secara geopolitik dan geostrategis, letak itu mempengaruhi percaturan ekonomi dunia karena wilayah Indonesia merupakan jalur pelayaran dan perdagangan internasional yang ramai menghubungkan kawasan Pasifik dan Atlantik. Bukankah perekonomian di kedua kawasan itu akan lumpuh total jika Indonesia memblokade jalur pelayaran kapal–kapal yang berlayar menuju kedua kawasan itu, seperti Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar?
Umpamanya, Indonesia memasang ranjau di perairan-perairan itu. Apakah para capres yang beredar saat ini menyadari keunggulan itu? Jawabnya, kita kembalikan kepada mereka masing-masing yang sekarang sudah mempersiapkan diri dengan tim suksesnya.

Platform pembangunan
Saat ini pembangunan kelautan nasional seolah-olah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, pemerintah bermaksud mengedepankan kelautan sebagai arus utama (mainstream) pembangunan nasional, terintegrasi dengan daratan (terestrial) yang dibuktikan dengan terbentuknya kelembagaan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Tetapi, di sisi lain, kepemimpinan nasional dan birokrasi pemerintahan kita dalam bidang kelautan belum memiliki visi dan agenda yang jelas mengenai pembangunan kelautan. Buktinya, sampai saat ini, pemerintah belum memiliki blue print kebijakan pembangunan kelautan nasional (National Ocean Development Policy/NODEP).
Visi pemerintah tentang pembangunan kelautan lebih bersifat parsial. Terkesan, keberadaan DKP belum merepresentasikan sebuah institusi negara dalam bidang kelautan. DKP hanya berperan sebagai institusi yang hanya mengurusi aspek perikanan. Buktinya, kebijakan DKP kental dengan kebijakan pembangunan perikanan, umpamanya, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, Gerbang Mina Bahari, dan Kemitraan Bahari (Sea Grant).
Institusi-institusi negara yang juga mengurusi kelautan belum memiliki platform yang sama tentang "pembangunan kelautan". Penyebabnya adalah bangsa Indonesia memang belum memiliki NODEP yang mengintegrasikan dan menyinergikan kebijakan antar-institusi negara dalam bidang kelautan. Kepemimpinan nasional kita juga belum all out menjadikan kelautan sebagai arus utama pembangunan nasional. Jadi, dalam Pemilu 2004, rakyat Indonesia harus memilih presiden yang memiliki platform pembangunan kelautan.
Kepemimpinan dan sumber daya manusia (SDM) yang berkiprah dalam bidang kelautan juga tidak memiliki pemahaman holistis mengenai pembangunan kelautan. Mungkinkah SDM yang dulunya lebih banyak berkiprah dalam aspek non-kelautan tiba-tiba harus menggeluti dunia kelautan yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan spesifik? Belum lagi tantangan, problem, dan subkultur yang berkembang dalam bidang kelautan relatif kompleks dan multi-sektor. Karena itu, kita membutuhkan kepemimpinan yang visioner, berjiwa enterpreneur, menegakkan good and clean governance dalam sistem birokrasi, serta memahami betul bagaimana mengelola pembangunan kelautan secara profesional.

Hal lain adalah soal keter- gantungan pembangunan kelautan nasional pada utang luar negeri. Contohnya yaitu (i) rehabilitasi terumbu karang (Coral Reef Management Project/COREMAP) senilai 200 juta dollar AS dari Bank Dunia; (ii) pengembangan pulau-pulau kecil senilai 50 juta dollar AS dari Pemerintah Spanyol (Kompas, 01/10/2003); (iii) Sea grant untuk pengembangan usaha kecil dan menengah kelautan melalui kemitraan dari Asia Development Bank senilai 1,7 juta dollar AS, dan (iv) Cooperation of Fisheries Management (co-fish), yakni untuk pengelolaan sumber daya perikanan senilai 1,5 juta dollar AS dari Bank Dunia. Betulkah program-program yang dibiayai utang luar negeri tersebut telah memberikan dampak positif terhadap pembangunan kelautan dan kesejahteraan rakyat pesisir, khususnya nelayan? Mengapa dana program co-fish di Pantai Prigi, Kabupaten Trenggalek, "dikorupsi" oknum pemerintah pusat sampai mencapai 25 persen dengan dalil membiayai perjalanan pejabat pusat ke lokasi proyek? (Kompas, 09/01/004) Bukankah dalil ini menjadi jurus pejabat menghindari hukum dan jalan pintas memperkaya diri? Karena itu, perlu kampanye agar "pejabat busuk" tidak memegang jabatan publik dalam pemerintahan pasca-Pemilu 2004.
Arah kebijakan pembangunan kelautan nasional lebih bersifat neo-liberal. Setidaknya, saat ini pemerintah lebih mudah mengeluarkan izin bagi kapal asing untuk menangkap ikan di perairan Indonesia ketimbang nelayan tradisional. Pemerintah juga telah menggadaikan data-data potensi sumber daya kelautan ke negara-negara kapitalis, seperti Amerika dan Kanada, yang berkedok membantu penelitian melalui dana utang luar negeri, umpamanya, program COREMAP dan proyek pesisir (Marine Coastal and Management Project). Selain itu, 95 persen pangsa sektor transportasi laut kita dikuasai oleh pihak asing
Pembangunan kelautan akan berhasil jika dikomandoi oleh seorang presiden yang mempunyai visi, komitmen politik, dan platform pembangunan yang jelas dan tidak mengorbankan harkat dan martabat bangsa. Karena itu, Pemilu 2004 merupakan wahana demokratis untuk memilih presiden yang memiliki visi dan platform pembangunan kelautan.

Tidak ada komentar: